#66TahunCakNun

Hari ini, 27 Mei 2019,  tepat 66 tahun usia budayawan yang saya kagumi, yang saya kenal lewat tulisan-tulisannya, Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal dengan Cak Nun.

Baiklah saya bercerita sedikit tentang Cak Nun, tentang buku-bukunya yang ada di perpustakaan saya, dan pertemuan saya dengan Cak Nun sekian tahun silam yang tetap masih saya ingat.

Awalnya saya hanya dengar-dengar saja tentang Cak Nun. Kadang-kadang membaca tulisannya yang dimuat di beberapa media. Namun kondisi ini berubah drastis sejak tahun 1992 saat terbitnya buku kumpulan tulisan Cak Nun berjudul “Secangkir Kopi Jon Pakir”.

66TahunCakNun | Sumber: Twitter @KenduriCinta

Saya buru-buru ke toko buku, dan akhirnya memiliki Secangkir Kopi Jon Pakir Cetakan I, Syawal 1412/Mei 1992. Saya melahapnya bagai orang yang kelaparan…

Ini kopi bukan sembarang kopi. Ini kopi bikinan koki bernama Jon Pakir alias ‘Jon yang Faqir’“… konon kopi racikan si Jon ini “lebih sip ketimbang kopi ‘Nasgithel’ (Panas, Legi dan Kenthel)“.

Demikian Cak Nun menulis di halaman belakang. Satu abstraks yang bikin penasaran calon penikmat “kopi” racikan si Jon Pakir…

Pada bulan Desember 1992, Cak Nun diundang untuk berceramah di kantor tempat orang tua saya bekerja.

Sayangnya karena telat terjebak macet, saya tak sempat menyimak isi cermahnya. Tapi sempat berjumpa di menit terakhir menjelang Cak Nun pulang.

Saya menyodorkan buku “Secangkir Kopi Pahit”, meminta Cak Nun untuk menandatangani halaman pertama buku tersebut.

Ditulisnya kalimat “yang tegar dan mandiri” sebelum tanda-tangan dibubuhkan…

Buku demi buku kumpulan tulisan Cak Nun selalu saya buru. Walau ada juga buku-buku kumpulan sajaknya, saya tetap memilih untuk memiliki buku kumpulan tulisannya saja.

Sampai pada bulan Ramadhan di tahun 1997…

Bulan Ramadhan, tepatnya 26 Januari 1997, Cak Nun berceramah di Islamic Center Bekasi, sore sampai dengan menjelang waktu berbuka puasa.

Godaan untuk tidak menghadirinya sungguh berat. Hujan lebat, karena saat itu musim hujan, belum lagi perumahan tempat saya tinggal yang kena banjir. Dengan kondisi demikian, saya tetap melangkah dan sampai juga di Islamic Center.

Saya lupa apa yang disampaikan Cak Nun pada sore itu. Yang masih saya ingat adalah gaya berbicaranya yang penuh semangat, memesona. Peserta yang hadir demikian antusias menyimak dan berdiskusi sejenak di akhir ceramahnya.

Usai ceramah, saya berbicara dengan salah seorang anggota panitia meminta izinnya untuk menemui Cak Nun barang sejenak. Barangkali bisa berbincang dan meminta tanda-tangannya untuk kenang-kenangan, demikian saya utarakan.

Akhirnya saya berjumpa dengan Cak Nun dan bersapa. Sungguh beda antara Cak Nun di panggung saat berceramah dengan Cak Nun ketika berbincang. Di panggung ia demikian berapi-api, disini ia demikian lembut dengan sorot matanya yang teduh…

Saya meminta tanda tangan Cak Nun pada buku karyanya yang saya tenteng dari rumah. Buku kumpulan tulisannya itu judulnya bikin merinding, “Gelandangan di Kampung Sendiri”.

Cak Nun tidak menuliskan apa-apa. Hanya coretan tanda-tangannya dan simbol E.AN saja dibawah tanda-tangannya.

Masih tersimpan foto pertemuan saya dengan Cak Nun di Islamic Center Bekasi. Di foto usang ini adalah Cak Nun (kiri), panitia penyelenggara (tengah), saya (kanan).

Cak Nun (kiri), Panitia Penyelenggara (tengah), saya (kanan)
Cak Nun (kiri), Panitia Penyelenggara (tengah), saya (kanan)

Bertahun-tahun berlalu. Saya tetap setia menanti buku-buku kumpulan tulisan Cak Nun diterbitkan. Belum sempat juga saya berjumpa kembali, walau sering juga ada acara Kenduri Cinta di TIM Jakarta.

Hanya 20 buku kumpulan tulisan karya Cak Nun ini sebagai obat kangen berjumpa dengannya.

20 buku Cak Nun di perpustakaan saya

Terakhir,

Cak Nun,

panjanglah usia.

semoga engkau tetap Tegar dan Mandiri,

seperti yang pernah engkau tuliskan,

pada halaman buku Secangkir Kopi Jon Pahit,

sekian tahun lalu.

 

Sukabumi, 27 Mei 2019

Catatan: Posting ini co-pas dari utas dengan hestek #66TahunCakNun pada akun twitter saya. Terima kasih.

7 respons untuk ‘#66TahunCakNun

Add yours

  1. lengkap koleksi bukunya Cak Nun, kang.
    Fotonya bukan hanya berfoto, tapi memang berbincang dengan beliau ya, kang.
    Semoga beliau sehat2 terus.

  2. Saya juga masih menyimpan beberapa buku cak Nun. Slilit sang Kiai, Anggukan Ritmis Kaki pak Kiai, Syair Lautan Jilbab, Markesot bertutup, dan satu lagi buku tentang demokrasi. Saya lupa judulnya.

    Wawasan berpikir Cak Nun sangat luas. Itu kenapa saya pun menyukainya, meskipun belakangan ini sedikit saya kurang sreg kalau beliau menyinggung politik. 🙂

    Sayang sekali, beliau sudah tidak menulis buku lagi.

Tinggalkan Balasan ke Jaka Suhariyanta Batalkan balasan

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑