Untuk urusan sarapan pagi, terutama saat berjalan kaki menelusuri jalan-jalan di Sukabumi, pilihan pertama saya adalah bubur ayam. Entahlah kenapa saya suka banget dengan bubur ayam. Mungkin saja karena beragam racikan yang disajikan oleh para pedagang bubur ayam tersebut, sehingga setiap pedagang bubur ayam memiliki keunikan racikan dan cita-rasanya masing-masing, juga sangat mudah menemukan pedagang bubur ayam di Sukabumi.
Salah satu pedagang bubur ayam yang kerap saya singgahi berlokasi di Jln. Cikiray yang bersinggungan dengan Jln. Jendral A. Yani. Selain memang sajian bubur ayamnya yang pas dengan selera saya, nama bubur ayam ini membuat saya penasaran.
Pedagang bubur ayam ini melabel gerobaknya dengan nama Bubur Ayam Mitoha.

Kenapa pedagang bubur ayam ini melabel bubur ayamnya dengan kata “mitoha” – mitoha dalam bahasa Indonesia berarti “mertua” – apakah karena demikian besar peran mertua bagi kehidupannya?
Beberapa hari lalu saya sempat ngobrol banyak dengan pedagang bubur ayam ini yang mengaku bernama Andri, saya memanggilnya kang Andri, saking penasarannya dengan label mitoha tersebut.
Tak disangka obrolan ringan disela-sela kang Andri telaten menyiapkan satu demi satu mangkuk bubur ayam pesanan pelanggannya menjadi semacam pemantik bagi saya untuk kembali ke tahun 1970-an, ke masa kecil saya, saat terucap satu nama yang akrab dengan telinga saya.
Dan, nama tersebut adalah Mang Kanta!
***
Sepenggal Kisah Masa Kecil
Saat kecil saya tinggal bersama kakek – kakek seorang penjahit pakaian pria – dan nenek di Cikiray, tak jauh dari lokasi mangkal bubur ayam Mitoha saat ini. Saya tak ingat dari mulai usia berapa saya tinggal bersama nenek, yang saya ingat saya mulai tinggal bersama orang tua saat mulai masuk Sekolah Dasar.
Rumah nenek di Cikiray tak jauh dari Masjid Al Ikhlas – kini nama masjid tersebut Al Ikhlas, entah dahulu saat saya kecil apa nama masjid tersebut – dan saya tetap mengenang saat bermain bersama teman-teman di halaman masjid sebelah kiri yang cukup luas dan berbatasan dengan sungai.
Saya tak dapat melukiskan bagaimana perasaan saya ketika menemukan foto bertahun 1968 pada album foto keluarga dan terpukau dengan diri saya sendiri yang dalam foto itu masih kecil, imut dan lucu. Foto itu diambil di halaman Masjid Al Ikhlas bagian belakang. Bagian belakang masjid itu khusus untuk jamaah wanita, sedangkan kalau sore dijadikan ruangan untuk anak-anak belajar mengaji.

Perhatikan pakaian yang dikenakan anak-anak pada saat itu, begitu sederhana dan seadanya. Perhatikan juga rata-rata anak-anak saat itu bermain dengan kaki telanjang, tanpa alas kaki.
Sore hari kadang nenek memanggil saya saat saya bermain. Saya sudah paham kalau nenek memanggil sambil menenteng rantang, pastilah ia menyuruh saya untuk membeli bubur ayam.
Dengan riang saya menenteng rantang menuju ke tempat pedagang bubur ayam yang mangkal mulai sore hari hingga malam. Bagaimana tidak riang, bakal ketemu dengan daging ayam sore ini. Walau hanya dalam bentuk suwiran, tetap saja itu adalah daging.
Tahukah, makan dengan daging sangat langka pada saat itu. Bisa makan dengan daging paling hanya saat Lebaran atau kalau ada acara tertentu saja, misalnya hajatan.
Pedagang bubur ayam yang saya datangi berada di ujung Jln. Cikiray, berseberangan dengan pedagang bubur ayam Mitoha saat ini.
Dan, pedagang bubur ayam tersebut bernama Mang Kanta!
Bubur Ayam “Mitoha” Cikiray
Kang Andri menjelaskan kalau ia belajar meracik bubur ayam dari mertuanya, sebelum ia terjun menjadi pedagang bubur ayam sampai saat ini. Racikan bubur ayamnya seratus persen sesuai dengan racikan bubur ayam mertuanya yang dahulu berjualan bubur ayam di Jln. Cikiray. Tambahan racikan kreasi kang Andri dan istrinya – istrinya kang Andri juga berjualan bubur ayam dengan lokasi tidak jauh dari rumahnya – berupa sayuran yang dominan dengan bawang.
Kang Andri menambahkan bahwa dulu mertuanya tersebut belajar meracik bubur ayam dari orang tuanya yang berjualan bubur ayam mulai sore dan mangkal di Jln. Cikiray juga.
Dan, ternyata, orang tua dari mertuanya kang Andri tersebut adalah Mang Kanta!
***
Sambil memperhatikan kang Andri menyiapkan bubur ayam dalam mangkuk, saya berpikir dan merasa takjub bagaimana satu ilmu dan keakhlian dipelihara, diturunkan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan tetap terjaga keasliannya. Sangat mungkin dahulu Mang Kanta tidak sampai berpikir bahwa racikan bubur ayamnya bakal melintasi beberapa generasi.
Dan ada yang lain saat saya menikmati sajian bubur ayam pagi ini. Bukan hanya karena racikan bubur ayamnya yang terasa nikmat, tapi juga bayang-bayang masa kecil saat menikmati bubur ayam bersama kakek dan nenek.
Sukabumi, 18 Februari 2019
suprise banget ya bisa makan bubur ayam th 1970 an di tahun 2019 an hahaha hanya berganti orang dan tambahan kreasi resep aja tapi rasa buburnya tetap sama
Betul Mbak, berkat ngobrol dengan akang pedagangnya saya baru tahu kalau bubur ayam racikannya itu adalah bubur ayam yang sama seperti yang saya nikmati di thn 70-an.
Terima kasih atas komentarnya Mbak.
Salam.
sama sama
Selalu ada rasa senang, yang menyelinap diruang kenangan, tiap kali ada orang atw teman yang bercerita tentang masa kenanganya. rasa itu seperti melonjak-lonjak girang. di ruang hati, seolah-olah ikut merasa senang. termasuk ketika membaca kenangan bubur ayam mitn.oha, saya mencoba kembali menapaki masa kecil, sambil mengingat2 tahun segitu saya ada dimana dan sedang apa. senangnya mengingtat, kembali kenangan masa lalu. trimakasih tulisanya, mengingatkan kembali tentang sebuah kenangan. lebih banyak lagi menulis kawan
Terima kasih juga Mas bila tulisan sederhana ini menjadi semacam medium bagi Mas untuk kembali mengingat masa lalu. Ah, memang masa kecil barangkali merupakan masa terindah dalam hidup kita.
Terima kasih atas komentarnya, Mas.
Salam.
saya suka banget makan bubur ayam sukabumi kang, walau bubur ditempat kita biasa beli di jakarta gak persis sama seperti ini. sekarang mah kalau kepengen harus buat sendiri hu hu hu…. ngomongin nenek, jadi inget nenek saya juga deh. ya gitu deh makanan memang secara umum bisa membangkitkan kenangan positif ya. btw di foto b/w itu akang yang manakah?? *jadikepo* 😀
Di Jerman mah gak ada yang jualan bubur ayam ya Mbak. Tapi Mbak pandai memasak, jadi gak terlalu masalah bila kangen dengan bubur ayam tinggal meracik sendiri saja.
Benar juga, lewat makanan ternyata bisa kembali mengenang masa lalu kita. Seperti kenangan Mbak dengan neneknya.
Di foto itu saya di baris tengah, berdiri, paling kanan dengan rambut dijambul…
Salam.
bisa karena haras kang, bisa-bisa sakau kalau harus nunggu mudik dulu 😅
ah yang paling kanan ya, imuuut 😀🙃
Wah cerita yang menarik, di Sukabumi sepertinya memang terkenal dengan buburnya, banyak yang mereview bubur (lupa namanya) yang langsung memasukan telur mentah-mentah ketika bubur masih panas
Sepertinya bubur ayam dengan telur mentah-mentah itu bubur ayam bunut, Mbak. Tapi optional, karena tidak semua orang suka.
Salam.
masa kecil saya di surabaya gak ada yang namanya bubur ayam
yang ada diisi dengan pecel
hehe
beda tempat, beda budaya
Betul Mas, beda tempat beda budaya…
Salam,
Saya jadi kangen bubur ayam Bogor, khas Madura atapi 😀
Bubur ayam khas Madura, Mas?
Wah, jadi penasaran nih. Nanti ah kalau ke Bogor coba saya cari…
Salam,
Betul, Kang. Khas Madura, biasanya dijual sama bubur kacang ijo.
Ya ampunn kang foto masa kecilnyaaaa hhehehhe
udah paling juara emang bubur ayam di Sukabumi mah, setelah nyobain sarapan bubur di kota lain tetep ga ada yg se enak di kota sendiri 🙂
Foto masa kecil, tetap indah bila ditatap…
Bubur ayam favoritnya dimana, Teh?
Salam,
Bubur Ayam
tak ada Matinya
Setuju…
Salam,
Itu fotonya awet ya, Pak, keren. Saya masih ingat masa kecil juga seringnya ga pake sandal, hehe…
Itu bubur mitohanya, hmmm… nikmat dah… 🙂
Sama dong Mas masa kecil kita, kaki tanpa sandal…
Salam dari jauh Mas.