Brievenbus: Berapa Usiamu?

Seringkali melewati Kantor Pos Sukabumi di Jalan A. Yani No. 42, sesering itu pula menatap gedungnya yang kini dominan berwarna oranye menyala, berbeda sekali dengan gambaran gedung tersebut yang masih tersimpan dalam ingatan saya.

Kini jarang sekali mampir dan berinteraksi dengan layanannya. Tak seperti di sekitar akhir tahun 70-an saat saya sering memasuki gedungnya dan membutuhkan layanannya.

Kantor Pos Sukabumi saat ini

Ya, sekitar akhir tahun 70-an, saat saya masih duduk di bangku SMP, seminggu sekali saya harus ke kantor pos. Keperluan utamanya untuk membeli perangko dan menempelkannya pada amplop surat.

Beberapa surat harus saya kirim dengan tujuan ke beberapa sahabat pena – sayangnya kegiatan bersahabat pena ini tidak lagi berlanjut sejak saya duduk di bangku SMA – yang tersebar di berbagai pelosok tanah air dan juga surat kepada bapak yang saat itu bekerja di luar negeri.

Yang seru, bila mendapat tugas harus membayar pajak radio dan iuran tv. Kakek saya di Jampang – tepatnya kakek tinggal di Purabaya, sekitar 40 km ke arah selatan dari kota Sukabumi – setiap 6 bulan sekali biasa meminta bantuan untuk membayarkan pajak radionya.

Yang aneh dengan pajak radio, kakek tetap rajin membayar sedangkan orang tua saya – yang notabene mempunyai radio di rumah – tidak pernah membayarnya. Orang tua saya hanya membayar iuran tv saja, iuran untuk tv kecil dengan layar masih hitam putih dan hanya 1 saluran yang tersedia, TVRI.

Lebih dekat dengan Kantor Pos Sukabumi

Nah, kalau tiba saatnya harus membayar pajak radio dan iuran tv, saya siap-siap untuk berlama-lama di kantor pos. Biasanya 07.30-an saya sudah sampai di kantor pos, memasukkan slip pembayaran di loket yang disediakan, kemudian menanti lama, seringnya berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Sekitar jam 10.00-an urusan pembayaran baru selesai.

Suasana kantor pos saat pembayaran biasanya penuh, ramai dan berdesakan. Perlu diingat bila saat itu pembayaran pajak radio dan iuran tv hanya dapat dilakukan secara langsung di kantor pos.

Suasana Kantor Pos Sukabumi saat ini, nyaman dan sejuk ber-AC

Seingat saya saat itu gedung kantor pos berwarna dominan abu-abu. Bila memasuki gedung, terkesan suasana yang lapang karena langit-langit gedung yang demikian tinggi. Beda sekali dengan keadaan bagian dalam kantor pos saat ini yang ketinggian langit-langitnya wajar saja sesuai dengan langit-langit kebanyakan gedung-gedung saat ini.

Perbedaan lainnya, kalau dahulu terasa sejuk di dalam gedung karena ventilasi yang memungkinkan angin dan udara sejuk dari luar mengalir ke dalam, sekarang sejuknya karena bantuan air conditioner (AC).

***

Namun ada satu kotak yang sejak dahulu saya ingat ada di depan kantor pos Sukabumi dan sampai saat ini masih berada disana. Kotak tersebut tingginya sekitar 160-an cm, pada bagian atas kotak itu tertulis Brievenbus.

Brievenbus di depan Kantor Pos Sukabumi

Brievenbus (bahasa Belanda) artinya kotak surat. Kotak ini berfungsi sebagai penampung surat yang akan dikirimkan. Bila kita akan mengirimkan surat tapi kantor pos sudah tutup, amplop surat biasa dimasukkan ke kotak ini, tentunya setelah amplopnya dibubuhi perangko.

Brievenbus, tampak depan

Terus terang saya penasaran dengan usia Brievenbus ini. Bila mengingat namanya yang tertulis dalam bahasa Belanda, dapat diartikan bahwa Brievenbus ini sudah ada sejak zaman pendudukan Belanda, jadi sebelum negara kita merdeka Brievenbus ini sudah ada di kantor pos Sukabumi.

Untuk menjawab berapa usia Brievenbus, mari periksa fakta-fakta berikut:

Menurut keterangan yang saya peroleh dari buku “Soekaboemi the Untold Story” dan situs “Situs Budaya”, kantor pos Sukabumi sesuai dengan letaknya yang sekarang bermula dari pembelian rumah Patih Soeria Natalegawa yang akan dibangun kantor pos. Pembelian rumah itu terjadi pada tahun 1914 dengan harga 100 ribu gulden.

Adapun pembangunan gedung kantor pos dirancang dan dilaksanakan pada tahun 1928 oleh Firma Bennink & Co dengan arsiteknya yang terkenal Albert Frederik Aalbers. Beberapa rancangan Aalbers di Bandung antara lain Gedung Bank Denis (sekarang kantor pusat Bank BJB), Gedung LKBN Antara dan Hotel Savoy Homann. Kantor pos Sukabumi ini mulai beroperasi pada Januari 1929.

Bila diasumsikan Brievenbus sudah dipasang pada saat pembangunan gedung kantor pos Sukabumi, yaitu tahun 1928, maka usia Brievenbus sudah mencapai 92 tahun!

Selain fakta sejarah diatas, ada juga fakta lain. Fakta ini berdasar pada cetak huruf timbul pada salah satu sisi kotak. Disana tertulis – semoga saya tak salah menuliskannyaDiepenbrog & Brigers Ulf – 1919.

Cetak huruf timbul pada sisi Brievenbus

Mungkinkah tulisan ini menunjukkan nama pabrik pembuat Brievenbus dan tahun pembuatannya? Mungkinkah Brievenbus ini sudah berada di kantor pos Sukabumi pada tahun 1919? Kalau benar demikian, berarti usia Brievenbus sudah 101 tahun!

Sebagai informasi tambahan, Kantor Pos Sukabumi resmi dibuka pada tanggal 1 Mei 1873 dengan status sebagai kantor pos pembantu. Pada tahun 1883 sampai dengan tahun 1928, Kantor Pos Sukabumi menempati salah satu ruangan di gedung Stasiun Kereta Api Sukabumi. Boleh jadi Brievenbus sudah berada di Sukabumi sejak 1919 dan di tempatkan tak jauh dari gedung kantor pos Sukabumi saat itu.

***

Demikian sedikit cerita tentang Brievenbus. Terlepas dari benar atau tidaknya bahasan ini, catatan akhirnya adalah bahwa peninggalan lama semacam Brievenbus ini ternyata menarik bila ditelusuri lebih jauh sejarah keberadaannya.

Sukabumi, 24 Februari 2020

Referensi:

  • Irman “Sufi” Firmansyah, “Soekaboemi the Untold Story“, Paguyuban Soekaboemi Heritages, 2016, hal. 225 – 226
  • Situs Budaya, “Kantor Pos Sukabumi“, klik tautan ini,

 

38 respons untuk ‘Brievenbus: Berapa Usiamu?

Add yours

  1. Waktu kecil, setiap kali ke kantor pos saya senang melihat bangkunya, Pak. Warnanya seperti permen. 😀

    Wah, jika usianya memang sudah 101 tahun, entah sudah berapa lembar surat yang pernah ditampung oleh Brievenbus itu. Tapi, sayang sekali sekarang bis surat sudah tak difungsikan lagi ya, Pak? Di negara-negara tetangga di Asia Tenggara, bis surat masih berfungsi, sehingga orang tak perlu jauh-jauh ke kantor pos untuk mengirimkan sepucuk surat. Kalau begini, seolah-olah kita sudah “menyerah” pada dunia digital dan melupakan yang analog.

    1. Nah Mas saya jadi penasaran, di negara tetangga di Asia Tenggara bis surat masih berfungsi, apakah kegiatan surat menyurat via pos masih hidup ya disana?

      Benar-benar saya penasaran, karena secara pribadi pun saya sudah tidak mengirim dan menerima surat lewat pos lagi. Surat lewat email, kiriman barang via bukan kantor pos.

      Saya kuatir, memang kita sudah “menyerah” seperti yang Mas bilang diatas.

      Salam,

      1. Untuk keperluan sehari-hari saya kurang tahu, Pak Asa. Tapi bis surat masih hidup, setidaknya untuk mengakomodasi pelancong yang ingin memberikan kabar ke rumah. Yang saya alami, setiap kartu pos yang saya kirim dari negara-negara Indochina–kecuali Myanmar–juga Malaysia dan Singapura, tiba di alamat. Lucunya, saya pernah ngirim kartu pos dari Makassar ke Jogja nggak tiba-tiba sampai sekarang. 😀

        Btw, membaca tulisan Pak Asa, saya jadi menyesal kenapa dulu tak pernah jalin relasi sahabat pena. Hehehehe…

        1. Lah koq aneh ya Mas, malah kiriman kartu pos dalam negeri koq macet begitu…

          Tentang sahabat pena, saya juga gak jelas kenapa dulu koq iseng kirim-kirim surat ke sahabat pena. Info sahabat pena-nya kalau gak salah dulu saya dapat dari majalah Kawanku. Ada halaman khusu yang isinya foto-foto beserta nama dan alamat suratnya. Sayangnya saya tidak menyimpan surat-suratnya sebagai dokumentasi, hanya prangko-prangkonya yang saya simpan. Jadi kepikiran, nanti saya tuliskan tentang koleksi prangko ini, saya cari dulu album prangkonya…

          Salam,

          1. Itulah, Pak. Mungkin ketelingsut karena nggak banyak lagi yang mengirim kartu pos (apalagi kalau dikirimkan dari tempat-tempat yang jauh dari ibu kota).

            Wah, Kawanku itu dulu populer banget di kalangan anak muda ya, Pak? Saya masih terlalu belia (dan baru baca Bobo) dulu pas zaman Kawanku, Hai, dan Aneka Yes sedang jaya-jayanya.

            Wah pasti menarik sekali itu, Pak, kalau dituliskan. Buat rekan-rekan segenerasi Pak Asa, itu bakal jadi bahan nostalgia, sementara buat generasi yang datang belakangan itu bisa jadi informasi yang sangat berharga. Saya nantikan tulisannya, Pak Asa. 😀

            1. Nah, majalah Bobo juga pernah beli, tapi pas SMP loncat ke Kawanku. Pindah lagi ke Hai jelang SMA.

              Ini album filateli-nya sudah ketemu, Nyisip di rak buku. Nanti coba saya tuliskan apa saja yang ternyata bisa diperoleh dari koleksi perangko ini.

              Salam,

              1. Nggak kebayang dulu serunya baca Hai pas zaman Balada si Roy jadi cerbung di situ, Pak. 😀 Sayangnya pas masa saya sudah lewat. Balada si Roy sudah dibundel jadi novelet.

                Wah, syukurlah ketemu, Pak. Selalu ditunggu tulisannya. Pasti akan menyenangkan sekali membaca soal prangko dan tradisi surat menyurat.

                Btw, dulu waktu SMP saya pernah punya 1 album prangko juga, filateli kecil-kecilan ceritanya. Koleksi prangkonya beli di toko buku saja, sih, bukan dari surat menyurat. (Seingat saya, cuma sekali beli prangko di kantor pos, waktu pos mengeluarkan koleksi Soekarno.) Tapi rasanya kayak keliling dunia. 😀

                1. Kalau Hai saya ingetnya pengarang Leila S. Chudori. Apa ya cerita bersambungnya, kalau gak salah Cintaku di Gedung Abu-abu apa ya? Biasa romans anak-anak SMA. Terus ada yang model detektif seperti Kimung gitu. Ah seru-seru deh. Sayangnya gak ada lagi koleksi Hai masa lalu. Dulu pernah dikasih ke keponakan…

                  Nah itu pernah ber-filateli juga Mas. Memang itu hobi anak-anak zaman doeloe ya Mas.

                  Salam,

                  1. Wah, saya baru tahu kalau Kimung–Arswendo ‘kan, Pak?–pernah jadi cerbung di Hai. 😀 Pas saja remaja dulu, Hai kayaknya sudah lebih condong ke musik, Pak.

                    Hehehe… Pas sekolah dulu soalnya guru-guru sering cerita soal filateli, makanya penasaran. Mungkin, ya, Pak. Eranya mungkin memang sudah ganti. Saat surat-menyurat sudah nggak terlalu populer lagi, wajar saja mungkin hobi filateli sudah tak digemari.

  2. Saya dulu taunya hanya iuran TV saja Pak Asa, karena kami dirumah waktu itu memang hanya punya televisi saja. Dan pada jaman saya tersebut sudah ada petugas yang datang kerumah untuk menagih, walaupun biasanya ketika petugas datang semua pada sembunyi. Jadi saya tidak merasakan membayar iuran TV di kantor pos 🙂

    1. Betul Mas memang pernah ada petugas yang datang ke rumah untuk menagih iuran tv. Malah adik saya pernah jadi petugasnya segala. Tapi periode itu tidak lama, berhenti begitu saja.

      Salam,

  3. kadang benda seperti ini terlihat tidak berfungsi apa-apa ya, padahal dulunya bersejarah. Kantor pos sekarang juga tengah berjuang di saat jasa pengiriman lain yang lebih cepat dan harga kompetitif.

    1. Ah iya Kantor Pos sekarang dikerubuti dari segala sisi bisnisnya ya Mas. Tak seperti tahun 70-an seperti yang dulu saya alami saat peranan Kantor Pos demikian dominan.

      Salam,

  4. Dulu waktu SMA saya biasa ke kantor Pos untuk mengambil kiriman uang dari orang tua di Jakarta. Namanya wesel pos. Entah sekarang masih ada layanan wesel atau tidak ya pak Titik?

    1. Wesel Pos masih ada Mas. Layanan kiriman uang yang cocok diantaranya bagi yang tidak punya rekening bank. Tapi kiriman uang sudah banyak saingannya ya sekarang.
      Konon sih layanan kiriman uang melalui pos banyak digunakan oleh TKI untuk mengirim uang ke saudaranya di kampung.

      Salam,

  5. wah bener2 jadul bangettttt ….
    kalau tetap taat bayar pajak … berarti orang bijak 🙂
    sampai lupa kalau dulu radio, tv bahkan sepeda-pun kena pajak.
    benar2 hebat ya orang zaman dulu tetap konsisten bayar pajak, meskipun cara bayarnya masih ribet …. beda banget dengan orang zaman now 😀

    1. Iya betul Mas, orang tua saya cerita kalau dulu memang ada pajak sepeda.
      Dipikir memang taat-taat orang zaman dulu, bayarnya ribet tetap melakukan pembayaran pajak.
      Sekarang zaman serba mudah, tapi katanya banyak yang ngemplang…

      Salam,

  6. Wah, tentunya ini barang peninggalan Belanda, Pak. Sama halnya kantor pos dan jaringan kereta api. Juga Jalur Pantura. Sewaktu saya masih tinggal di Jogja, sering sekali melihat Brievenbus ini di Kantor Pos Besar Yogyakarta, juga beberapa kantor pos di tingkat kecamatan. Tapi di Pemalang yang seperti ini tidak ada. Entah memang sejak dahulu tidak ada, atau sudah tidak ada lagi karena dihilangkan. Kalau iya, yang terakhir, tentunya amat sangat disayangkan sekali.

    Btw, Sukabumi menarik juga ya. Duh, jadi pengen main ke sana.

    1. Oh iya saat main ke Yogya saya ketemu juga dengan brievenbus. Baru ingat lagi saya sekarang.
      Di Pemalang gak ada peninggalan model begini Mas? Tapi sangat disayangkan ya kalau benar seperti Mas bilang, dihilangkan.

      Ayo Mas kalau ada acara yang tak jauh dari Sukabumi, mampir ke Sukabumi…

      Salam,

      1. Di Kantor Pos Besar Jogja, brievenbus ada di dekat pintu masuk yang menghadap utara, besar sekali ukurannya. Setinggi orang dewasa seingat saya. Di Pemalang, kantor posnya kecil saja, Pak. Mungkin di Tegal atau Pekalongan yang merupakan eks ibukota karesidenan ada.

  7. dulu sering ke kantor pos buat nabung di tabungan batara 🙂
    sekarang lupa deh masih aktif apa nggak soalnya udah lama bgt gak pake batara huhu…
    iuran tv jaman dulu bayar sm petugas yg datang ke rumah…

    1. Tabungan batara itu dari bank BTN yang bisa disetor di kantor pos itu ya Mas?
      Kalau Mas ingatnya bayar iuran tv yang bayarnya di rumah lewat petugas yang door to door, berarti usia Mas masih sangat muda nih.
      Hehehe…posting ini juga menggambarkan betapa sudah tua nya saya…

      Salam,

  8. Peninggalan yang penuh sejarah yang mudah-mudahan terus terawat.
    Saya mengenal kantor pos sudah dengan nominasi warna oranye itu, Kang.
    Saya dulu juga memiliki album perangko. Tapi sekarang ga tahu jejaknya.

    Membaca tulisan ini jadi ingat jaman berkirim-kirim surat dulu 😀

    Salam sehat selalu ya, Kang.

    1. Zaman berkirim-kirim surat…ah masa lalu yang terasa indah kalau dikenang ya Mbak. Suratnya dibaca, prangkonya di koleksi…
      Sayang Mbak album prangkonya hilang ya. Saya sudah ketemu nih Mbak, besok-besok saya coba tuliskan deh.

      Salam,

      1. Zaman remaja memang indah untuk dikenang ya.

        Siap menunggu postingannya, Kang.

        Kayaknya waktu gempa Sumbar dulu salah satu yg tak terselamatkan oleh orangtua sy.

  9. Saya dulu filatelis, makanya sering berkirim surat dan ke kantor pos, bahkan sampai sekarang masih sering ke kantor pos hanya untuk sekadar berkirim kartu pos ke teman-teman 😀

    1. Saya mengumpulkan prangko waktu saya di bangku SMP, tapi hanya prangko bekas & gak pernah beli khusus. Kegiatan terhenti setelah surat-surat tidak lagi dikirim via pos.

      Wah, masih suka berkirim kartu pos hingga saat ini? Luar biasa. Saya sendiri entah sudah berapa puluh tahun tidak pernah lagi menerima surat atau bahkan kartu pos…

      Salam,

  10. Aah…
    Kantor pos memang penuh kenangan. Generasi sekarang gak akan bisa tahu bagaimana rasanya membeli perangko di kantor pos, mencemplungkan surat ke kotak.
    Tapi setahu saya dari dulu warnanya sudah orange deh Om. Sejak dari saya kecil dan masih tinggal di Papua udah orange.

    1. Iya ya Mbak, antri beli prangko, tempelkan di amplop dan memasukkan ke kotak pos. Sekarang tinggak klik & kirim saja…

      Mengenaai kantor pos warna abu-abu dan orange, kebetulan saya kemarin jumpa dengan orang yang katanya pensiunan pegawai pos. Saya tanya mengenai perubahan warna pos dari abu-abu ke orange. Dia bilang perubahan warna itu terjadi sekitar tahun 90-an.

      Demikian Mbak sekadar info.

      Salam,

Sila tinggalkan komentar sahabat disini...

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑