Entah mengapa, kadang saya menyusun draft tulisan, diarsipkan, tersimpan lama kemudian akhirnya terlupakan. Beberapa yang dibuka kembali, dibiarkan begitu saja. Kadang malah sering di hapus saja. Beberapa dicoba untuk dilanjutkan, ditata ulang susunan kalimatnya, disiapkan foto-foto yang sesuai lantas di posting. Kurang lebih begitu sering saya alami.
Nah, catatan perjalanan ke Yogya ini masuk ke kategori draft yang terlupakan tersebut. Bagaimana tidak, perjalanan ini saya lakukan 2 bulan lalu atau tepatnya dimulai dari Bekasi pada Jumat malam, 9 Oktober 2015. Suatu catatan yang usang memang. Tapi biarkan saya melanjutkan draft ini dan membagikannya kepada pembaca blog saya ini.
Apapun, moga tulisan ini berkenan…
***
Sebenarnya ini perjalanan malam saya yang ke-2 ke Yogya dengan menumpang bus malam. Tahun lalu, tepatnya Kamis, 20 November 2014, saya melakukan hal yang sama. Waktu itu saya mengunjungi Yogya dengan tujuan akan menghadiri festival jazz tahunan yang bernama Ngayogjazz yang dilangsungkan di Desa Wisata Brayut, seperti yang saya tuliskan disini.
Berbekal pengalaman tahun lalu, yang telah saya posting disini, dengan jam keberangkatan bus malam yang sama dari Bekasi, saya perkirakan akan sampai di terminal bus Giwangan sekitar jam 07.00 pagi. Tapi apa hendak dikata, perjalanan malam kali ini mengalami hambatan kemacetan yang luar biasa, sehingga saya baru sampai di terminal bus Giwangan sekitar jam 10.00-an pagi.
Dengan keterlambatan sampai di Giwangan ini mau tidak mau saya harus menentukan ulang prioritas tempat-tempat yang akan saya kunjungi. Sebelum berangkat saya telah menentukan tempat-tempat mainstream yang akan saya kunjungi di Yogya yang selalu menjadi tujuan wisata, seperti yang sering saya baca dari berbagai media.
Setelah sarapan pagi yang kesiangan di terminal bus Giwangan, saya menaiki bus kecil bernama Trans Yogya. Cukup nyaman dengan AC-nya yang sejuk dan dengan ongkos yang boleh dibilang murah. Jadi saya akan menuju kemana?
Baiklah, saya memutuskan akan menuju area Yogya KM 0 saja.
Yogya KM 0
Sayang keadaan sekitar Yogya KM 0 saat saya kunjungi sedang ada perbaikan jalan, sehingga jalan disamping Kantor Pos Besar yang menuju Keraton Yogyakarta untuk sementara waktu ditutup. Saya melihat kemacetan akibat arus kendaraan yang berasal dari Malioboro tertahan di perempatan ini. Entah ini memang normal keadaan harian seperti begini, atau akibat ada penutupan jalan tadi.
Saya berdiri di taman yang cukup asri yang berada di Yogya KM 0 ketika matahari demikian terasa menyengat. Melihat sekeliling dari area ini. Di seberang berdiri Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, di seberang lagi terdapat bangunan kuno berupa Gedung BNI yang sedang dalam perawatan dan di dekat terdapat ornamen unik Gembok Cinta. Saya berpikir, siapa saja yang boleh mengaitkan gembok pada Gembok Cinta ini ya?
Jangan kaget ketika berada di Yogya KM 0 ini akan banyak tawaran naik becak dari penarik becak yang mangkal disana. Hal ini saya alami saat berada disana. Tawaran dari penarik becak, yang disertai dengan kalimat memelas, “lima ribu saja deh Om, buat makan, saya belum makan dari pagi…”, membuat saya menyerah. Akhirnya saya minta diantar ke Keraton Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta
Turun dari becak, saya langsung menuju halaman depan Keraton Yogyakarta. Selain bangunan depan keraton dengan pintu masuknya, yang dominan disini adalah adanya pohon yang berukuran raksasa yang rimbun dan memberikan efek kesejukan.
Duduk sejenak disini sambil memperhatikan banyaknya orang-orang yang akan memasuki keraton membuat saya berpikir. Rupanya keraton tetap mempunyai daya tarik untuk dikunjungi. Selain turis-turis dari manca negara, entah siapa mereka ini. Mungkin wisatawan lokal semacam saya? Atau mungkin malah orang Yogya sendiri yang tetap rindu kepada kejayaan masa lalu? Entahlah…
Saat melewati pintu masuk keraton, saya diperingatkan oleh penjaga pintu disana. Saya yang tidak faham bahasa Jawa, hanya melongo saja. Apa ya maksudnya? Syukurlah ada penjaga yang sigap. Ia menjelaskan bahwa untuk memasuki kawasan keraton, tidak diperkenankan untuk memakai topi. Oh, itu. Baiklah, saya lepas topi yang saya pakai ini.
Melewati penjaga pintu itu, saya takjub dengan pintu gerbang Keraton Yogyakarta yang tampak demikian artistik dan tetap terawat dengan baik. Ini yang saya maksudkan…
Apa yang saya lihat di dalam area Keraton Yogyakarta? Kurang lebih ini,
Pertama, adalah halaman luas lengkap dengan bangunan pendopo-pendopo yang luas juga. Pendopo yang salah satu fungsinya untuk pergelaran seni budaya, seperti saya lihat siang itu adanya pertunjukkan wayang kulit di salah satu pendopo, mungkin merupakan tempat juga untuk pertemuan-pertemuan penting berkenaan dengan pemerintahan Yogyakarta.
Kedua, bangunan-bangunan tua yang antik dan tetap terawat dengan halamannya yang asri, gerbang-gerbang yang menghubungkan antara satu area dengan area lainnya, koridor-koridor dengan berbagai hiasan yang menempel di dinding-dindingnya dan teras-teras yang berlantai mengkilat dan ornamen-ornamen antik yang menghiasnya.
Ketiga, ruang-ruang pamer yang berisi benda-benda peninggalan masa lalu yang bernilai sejarah baik yang berhubungan dengan pemerintahan maupun adat istiadat lokal.
Keterpesonaan saya kepada Keraton Yogyakarta membuat saya demikian terpaku sehingga saya tidak lagi mampu menuliskan komentar lebih jauh. Biarlah foto-foto yang saya tampilkan diatas “berbicara” dan “bercerita” tentang pesona keraton itu sendiri.
Jalan Malioboro
Akhirnya siang itu langkah kaki saya mencapai jalan yang legendaris di Yogya, Jalan Malioboro. Saya sebut saja legendaris, karena begitu banyak cerita mengenai jalan ini yang saya baca dan temukan di berbagai media.
“Oh, ini rupanya Jalan Malioboro itu…”, demikian pikir saya. Jalan yang cukup lebar dengan banyak pertokoan di satu sisi, dan penginapan di sisi lain. Antara motor-motor yang parkir pada bahu jalan sebelah kiri dan becak-becak yang berjajar menanti penumpang-penumpangnya pada bahu jalan lainnya.
Esok harinya, di Minggu pagi, saya menyaksikan keramaian yang lain di Jalan Malioboro ini. Keramaian yang merupakan percampuran antara anggota masyarakat Yogya yang sudah aktif bergerak badan dengan bersepeda menyusuri jalan ini, penarik andong yang menanti rezeki di pagi hari dan penjual makanan yang dikerubungi orang-orang yang berniat sarapan pagi.
Juga, nenek penjual makanan ini yang tetap semangat berjuang…
Saya Akan Menginap Dimana?
Seusai menuntaskan kepenasaran saya dengan berjalan menyusuri Jalan Malioboro, saya baru kepikiran akan menginap dimana malam nanti?
Menginap di hotel sekitar Malioboro? Ah, mahal. Yang murah, bersih dan nyaman namun tak jauh dari Jalan Malioboro, ada tidak ya? Ada, pasti. Yang mana? Sebentar. Saya membuka catatan kecil saya. Saya telah mencatat 2 tempat menginap yang murah di sekitar Jalan Malioboro yang saya temukan melalui browsing internet.
Saya mendatangi kedua penginapan tersebut dan saya jatuh cinta kepada tempat menginap yang satu ini. Letak penginapan tersebut di gang yang berada di sebelah salah satu hotel. Walaupun letaknya di gang, namun hanya beberapa langkah dari Jalan Malioboro. Pas. Cocok.
Inilah tempat yang saya menginap semalam di Yogya,
Menurut pengalaman saya menginap satu malam disana, cukup nyaman. Suatu waktu kalau saya berkunjung kembali ke Yogya mungkin saya akan kembali menginap di tempat itu.
***
Sore hari, saya bergegas menuju lokasi pergelaran Economics Jazz. Pergelaran Economics Jazz Live Part XXI – 2015 ini sangat menarik karena hadirnya jazz band legendaris dari Jepang, Casiopea, dan dari dalam negeri, Krakatau Reunion. Kesan-kesan saya menyaksikan pergelaran jazz ini telah saya tuliskan pada posting berjudul Energi 80-an di Eonomics Jazz 2015, dapat disimak disini.
Sebagai catatan, perjalanan saya ke Yogya, seperti juga beberapa perjalanan ke kota-kota lainnya pada tahun ini, termotivasi oleh keinginan saya untuk menghadiri pergelaran jazz yang berlangsung di kota tersebut. Pergelaran Economics Jazz pada Sabtu malam, 10 Oktober 2015, yang memotivasi perjalanan saya ke Yogya kali ini.
Itulah catatan saya melihat-lihat Yogya dalam beberapa jam di Sabtu siang dan sedikit gambaran suasana di Jalan Malioboro pada Minggu pagi. Saya tidak menambahkan banyak komentar dalam tulisan ini. Seperti saya tulis diatas, biarlah foto-foto itu sendiri yang “berbicara” dan “bercerita” tentang kenyataan yang ada dibaliknya.
Sukabumi, 30 Desember 2015
makasih mas titik..kerana berkongsi cerita pengalaman di jogja dan bakal saya jadikan ianya sedikit pedoman saya di sana nanti..jangkanya saya akan berlibur kesana tanggal 20,21,22 february ini.
Sama-sama.
Jadikah ke Yogya 20 – 22 February kemarin?
Semoga menemukan keunikan Yogya saat berlibur disana.
Salam,
Ini mengingatkan saya masa berada di Jogjakarta, amat menyukai Jalan Malioboro dan Shopping Mall Malioboro.
Oh, pernah berkunjung ke Yogya rupanya.
Betul, Jalan Malioboro memang sangat special dengan berbagai corak ragam aktifitas disana.
Salam,
Saya akan datang lagi.
Selamat datang kembali…
Mesti akan datang lagi!
gak akan pernah bosan menyinggahkan kaki di kota yogya… banyak kenangan disini… suasananya romantis dan penuh keakraban..
Benar, Yogya memang unik. Rasanya saya ingin sekali berkunjung kesana lagi…
Salam,
entah kenapa mambaca cerita lain dari sisi hidup pak BSE selalu mengasyikan. salam hangat saya pak BSE.
ryan anthony CMU (dulu) 😀
Aduh…terima kasih Ryan.
Apa kabarnya Ryan? Masih inget ya kita sering ngobrol-ngobrol di pabrik..hehehe
Sukses selalu ya Ryan.
Salam,