Djanger Bali: Tonggak Sejarah Musik Jazz Indonesia

Pada Berlin Jazz Festival tahun 1967 kelompok musisi jazz dari Indonesia, The Indonesian All Stars, tampil di venue Kongresshalle. Penampilan mereka yang berkolaborasi dengan pemain klarinet jazz Amerika Serikat, Tony Scott, dan bertajuk Jazz Meets the World tidak hanya membuat kagum publik pencinta jazz Jerman, namun juga mendapat sambutan yang antusias baik dari kritikus musik maupun musisi jazz dunia yang saat itu menyaksikan langsung penampilan mereka seperti Herbie Hancock, Miles Davis dan John Coltrane.

Album Djanger Bali – yang berisi komposisi-komposisi jazz seperti yang ditampilkan pada Berlin Jazz Festival – dan perjalanan bermusik kelompok The Indonesian All Stars yang berpuncak pada penampilan mereka di Berlin Jazz Festival, merupakan rangkaian kisah yang menarik dan bernilai historis bagi perkembangan musik jazz tanah air dan merupakan tonggak sejarah sehingga musik jazz Indonesia dikenal di seluruh dunia.

Kisah yang menarik ini saya tuliskan dengan sebagian besar bersumber dari berbagai media on-line yang saya temukan.

***

Dari Jakarta menuju Berlin

Sekitar tahun 1960-an telah tampil ke permukaan beberapa pemusik jazz di Indonesia, khususnya di Jakarta. Kemunculan musisi jazz dan pemain klarinet asal Amerika Serikat, Tony Scott, yang sempat bermukim beberapa bulan di Jakarta, baik untuk bermain musik dan mengajar, berpengaruh besar kepada perkembangan satu kelompok pemusik jazz yang menamakan dirinya The Indonesian All Stars.

The Indonesian All Stars terdiri musisi-musisi jazz papan atas saat itu. Mereka adalah Bubi Chenlahir di Surabaya tahun 1938 – bermain piano dan kecapi, Jack Lesmanalahir di Banyuwangi tahun 1930 – pada gitar, Marjonolahir di Yogyakarta tahun 1937 – pada tenor sax dan flute, Yopi Chenlahir di Surabaya tahun 1931 – bermain pada bass dan Benny Mustafalahir di Jakarta tahun 1939 – pada drums.

The Indonesian All Stars adalah Bubi Chen (piano, kecapi), Jack Lesmana (gitar), Marjono (sax), Yopi Chen (bass), Benny Mustafa (drum), feat. Tony Scott (klarinet).

Tony Scott sendiri sejak tahun 1963 lebih memilih untuk bermain di luar Amerika Serikat. Selama perjalananan di luar Amerika Serikat, ia banyak melakukan eksperimen dengan memadukan unsur-unsur musik tradisional lokal dengan elemen jazz. Dalam perjalanannya tersebut Tony Scott telah mengunjungi Swedia, Afrika Selatan, Senegal, Filipina, Malaysia, Indonesia dan Jepang.

Interaksi yang instens antara Tony Scott dan The Indonesian All Stars tersebut berhasil memadukan dengan harmonis antara unsur-unsur musik tradisional, seperti Bali, Jawa dan Sunda, dengan elemen jazz seperti yang dapat kita simak lewat komposisi-komposisi yang terdapat pada album mereka yang bertajuk Djanger Bali.

Tahun 1966, Joachim E. Berendt, seorang produser, penulis dan kritikus jazz terkemuka dari Jerman berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan The Indonesian All Stars. Kunjungan Berendt, ia juga inisiator Berlin Jazz Festival yang telah diselenggarakan sejak tahun 1964, berdasarkan pada informasi yang diperolehnya dari Tony Scott mengenai musisi-musisi jazz Indonesia yang dikenalnya ini. Pertemuan ini membawa kepada kesepakatan untuk memperkenalkan dan menampilkan The Indonesian All Stars kepada publik pencinta jazz di Jerman melalui tour konser dan penampilan di Berlin Jazz Festival dan juga mengabadikan komposisi-komposisi jazz mereka melalui sebuah album rekaman.

Untuk menambah daya tarik kelompok The Indonesian All Stars yang relatif belum dikenal ini, Tony Scott akan kembali dipadukan. Tentunya nama Tony Scott yang telah dikenal baik oleh publik pencinta jazz dianggap lebih memberikan minat kepada calon pendengar untuk menyaksikan penampilan panggung mereka maupun sebagai salah satu daya tarik pemasaran album rekamannya nanti.

Tahun 1967 The Indonesian All Stars bertolak ke Jerman Barat. Selama hampir satu bulan kelompok ini menjelajah kota demi kota disana untuk melakukan tour konser secara maraton. Tak kurang dari 28 kota mereka singgahi untuk mempertunjukkan komposisi-komposisi jazz andalan mereka.

Melalui penampilannya kelompok The Indonesian All Stars memperkenalkan kepada masyarakat disana bagaimana corak musik tradisional Indonesia dipadukan secara harmonis dengan elemen jazz.

The Indonesian All Stars, Jerman, 1967, sumber_The Return of Jazz
Penampilan The Indonesian All Stars di Jerman, 1967. Sumber: The Return of Jazz

Puncak penampilan The Indonesian All Stars berlangsung pada tanggal 2 November 1967, saat mereka tampil di venue Kongresshalle, Berlin Jazz Festival. Bersama Tony Scott mereka tampil mengesankan dalam pertunjukkan yang bertajuk Jazz Meets the World.

Penampilan mereka ini mengejutkan para kritisi musik dan musisi jazz dunia yang hadir disana. Bahkan Bubi Chen – yang dijuluki sebagai Art Tatum Asia oleh majalah jazz Amerika, Down Beat – terpilih sebagai pianis JazzFest Berlin All Stars.

Kelahiran Album Djanger Bali

Cover depan album Djanger Bali
Cover album Djanger Bali dengan foto relief Candi Borobudur

Selain menyelenggarakan pertunjukkan di panggung, selama dua hari The Indonesian All Stars melakukan sesi rekaman.

Sesi rekaman untuk MPS/Saba Record ini dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1967 berlangsung di Saba Tonstudio, Villingen, Black Forest.

Rekaman ini dikemas kedalam sebuah album yang diberi judul Djanger Bali, sesuai dengan nama komposisi pertama yang disajikan dalam album itu, dengan sampul albumnya berfoto relief Candi Borobudur.

Djanger Bali boleh dikatakan sebagai album rekaman jazz Indonesia pertama yang menampilkan komposisi-komposisi musik Indonesia yang dikawinkan dengan musik jazz dan dimainkan oleh band jazz Indonesia yang berkolaborasi dengan musisi jazz Amerika.

Album yang pertama kali di rilis di Jerman pada tahun 1967 ini benar-benar tidak hanya menyampaikan jazz seperti apa adanya, namun jazz yang sudah dipadukan secara harmonis dengan musik-musik tradisional Indonesia. Tak berlebih bila dikatakan, inilah Jazz Indonesia.

Album Djanger Bali berisi 6 komposisi, terdiri dari 1 komposisi baru yang bernafaskan tradisional Bali, Djanger Bali, 3 komposisi berdasar lagu tradisional Indonesia, Gambang Suling, Ilir-Ilir dan Burungkaka Tua, 1 komposisi baru dari Eropa berdasarkan sound-track film Katz und Maus, Mahlke dan 1 komposisi jazz standar karya George Gershwin, Summertime.

Tony Scott dan The Indonesian All Stars pada liner notes album Djanger Bali
Tony Scott dan The Indonesian All Stars pada liner notes album Djanger Bali

Album Djanger Bali yang pertama kali dirilis dalam bentuk vinyl pada tahun 1967 ini sempat dirilis ulang di Jerman dan Jepang pada tahun 1971. Namun album Djanger Bali selalu dirilis dalam jumlah terbatas dan tidak pernah didistribusikan ke Indonesia. Tak heran bila Djanger Bali menjadi album jazz yang langka, berharga mahal dan akhirnya menjadi buruan para kolektor.

Djanger Bali pertama kali dirilis di Jerman pada tahun 1967, 48 tahun kemudian – tepatnya 27 Oktober 2015 – baru dirilis resmi di Indonesia.

Hal yang sangat menggembirakan ketika pada tanggal 27 Oktober 2015 album Djanger Bali secara resmi dirilis di Indonesia oleh Demajors Independent Music Industry dalam bentuk CD. Ini berarti perlu waktu penantian selama 48 tahun bagi masyarakat pencinta jazz tanah air untuk memiliki album jazz karya pemusik jazz tanah air yang fenomenal ini.

Sungguh penantian yang teramat panjang…

CD album Djanger Bali
CD album Djanger Bali yang dirilis oleh Demajors

Menyimak Album Djanger Bali

Seusai menyimak track demi track komposisi pada album Djanger Bali, secara ringkas saya menggambarkan setiap track tersebut dibawah ini,

Track #1, Djanger Bali. Komposisi yang ditulis oleh Bubi Chen ini mendapat inspirasi dari salah satu tarian di Bali, Djanger. Komposisi yang dibuka oleh ketukan piano bernada khas tradisional Bali, dilanjutkan dengan improvisasi tiupan tenor sax bagaikan nada-nada yang menari. Permainan piano Bubi Chen dan tiupan sax Marjono dominan menghias sepanjang lagu ini.

Track #2, Mahlke. Komposisi karya Attila Zoller untuk sound-track film Katz und Maus diperkenalkan oleh Joachim Berendt saat bertemu The Indonesian All Stars pada tahun 1966. Jack Lesmana langsung jatuh cinta pada lagu ini dan dalam waktu singkat dapat berimprovisasi dengan nada-nada dalam lagu ini. Tidak mengherankan bila lagu Mahlke ini dominan di hiasi improvisasi melodi gitar-nya Jack Lesmana.

Track #3, Gambang Suling. Tiupan flute Marjono membuka komposisi Gambang Suling. Mendengar suara flute ini terbayang keindahan masyarakat pedesaan yang hijau dan damai. Improvisasi terhadap Gambang Suling dilakukan oleh Bubi Chen yang memainkan piano dan kecapi. Secara bersahut-sahutan dan saling jawab bergantian terjadi antara petikan suara kecapi dan dentingan ketukan piano. Mungkin ini improvisasi terhebat yang pernah dilakukan oleh Bubi Chen.

Bagian dalam CD album Djanger Bali - Tony Scott
Bagian dalam CD album Djanger Bali – Tony Scott – Jazz Meets the World

Track #4, Ilir-Ilir. Komposisi ini dibuka oleh vokal Marjono yang menyanyikan lagu ini. Ini seperti memperkuat efek musik tradisional Jawa pada komposisi ini. Sepanjang komposisi ini menonjol permainan solo tenor sax Marjono. Permainan dan imrpovisasi dari Marjono ini setidaknya menunjukkan kelas-nya sebagai pemain tenor sax kelas dunia.

Track #5, Burungkaka Tua. Komposisi ini membongkar warna asli lagu Burungkaka Tua dan menampilkan dengan format baru yang unik. Komposisi ini harus disimak dengan seksama bila ingin menemukan dimana nada asli lagu Burungkaka Tua diselipkan. Lewat komposisi ini bisa disimak permainan flute Marjono yang syahdu.

Track #6, Summertime. Komposisi jazz standar karya George Gershwin ini dibuka dengan suara petikan kecapi dan tiupan tenor sax dengan berlatar belakang karawitan Sunda. Bagian utama komposisi ini selain menampilkan improvisasi permainan tenor sax-nya Marjono juga menyuguhkan improvisasi piano-nya Bubi Chen yang cukup panjang dan demikian memesona.

Luar biasa mengagumkan, demikian kesan saya saat menyimak track demi track album Djanger Bali itu. Mendengarkannya seakan saya tak menyadari kalau komposisi-komposisi itu telah diciptakan puluhan tahun silam. Komposisi-komposisi yang tak usang termakan zaman.

Di youtube saya menemukan video interview yang menarik dengan Benny Mustafa, pemain drums The Indonesian All Stars, dan Indra Lesmana, musisi jazz – putra Jack Lesmana, mengenai album Djanger Bali yang fenomenal ini.

Simak bagaimana pendapat mereka,

***

Eksplorasi yang luar biasa hebat terhadap musik-musik tradisional dan meramunya dengan elemen jazz telah dilakukan 48 tahun lalu dan telah sukses terwujud melalui komposisi-komposisi yang terdapat dalam album Djanger Bali. Menggali dan memadukan musik tradisional dengan elemen jazz ternyata menghasilkan sesuatu yang baru, sesuatu yang unik, sesuatu yang boleh dikatakan sebagai Jazz Indonesia.

Jack Lesmana mengatakan, seperti yang dapat dibaca pada liner notes album Djanger Bali, “We don’t want simply to imitate the Americans. We are Indonesian, and we attempt to utilize our own musical tradition for modern jazz“. Kalimat ini dapat dibuktikan kebenarannya sesaat menyimak komposisi-komposisi dalam album Djanger Bali.

Jack Lesmana: “We don’t want simply to imitate the Americans. We are Indonesian, and we attempt to utilize our own musical tradition for modern jazz

1967, catatan historis jazz Indonesia telah terukir. Suatu catatan yang menjadi tonggak penting bagi perkembangan musik jazz di Indonesia pada tahun-tahun kedepannya hingga saat ini.

Sukabumi, 16 Desember 2015

Djanger Bali: Cover dan Liner Notesklik foto untuk memperbesar tampilan.

Iklan

28 respons untuk ‘Djanger Bali: Tonggak Sejarah Musik Jazz Indonesia

Add yours

  1. Rasanya nggak sabar juga untuk menikmati album ini. Ibarat masakan, bau wangi dari dapur telah membangkitkan lapar untuk segera menikmati hidangannya.

  2. Supeeeerrr gokil jazz Indonesia; pencapaian interprestasi permainan music jazz yg luar biasa; sampai2 kata Indra Lesmana : John Coltrain merasa ketendang jauh, sebelum tampil sdh The Indonesian Allstart…..pride berat brooo…thx

    1. Betul, begitu yg Indra Lesmana bilang tentang Djanger Bali ini seperti di interviewnya…
      Pencapaian yg luar biasa ya di thn 1967. Moga kedepan jazz Indonesia kian semarak dgn kini banyak munculnya musisi-musisi muda jazz.

      Salam Jazz dari Sukabumi,

  3. Akang benar-benar pecinta Jazz sejati, saya salut, saya hanya ikut senang melihat postingan2nya yang nyaris full jazz…. Apa kabar kang ?

    Salam dari saya di Dompu-NTB.

    1. Iya nih Mas belakangan ini posting2 saya selalu berhubungan dgn jazz. Ini satu-satunya hobi yg tetap saya pelihara sejak saya SMP. Sekarang saya coba tuliskan sedikit2 sekemampuan saya.
      ALhamdulillah, baik Mas. Semoga Mas dan keluarga dalam keadaan baik juga di Dompu.

      Salam dari saya di Sukabumi,

    1. Betul Mas. Salut, mereka tidak hanya bermain jazz tapi menghasilkan jazz yang khas setelah mempadukannya dgn musik-musik tradisional.

      Salam persahabatan selalu,

      1. Keren emang musik jazz, lagu tahun 1967 saja masih enak di denger sampai sekarang. kayak gak ada matinya, walaupun sudah banyak lagu-lagu yang baru tentunya

Sila tinggalkan komentar sahabat disini...

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: