Antara Kue Pancong dan Semangat Kemandirian

Saat jalan-jalan pagi menyusuri kota Sukabumi, rasanya kini saya banyak menemukan pedagang kue pancong di sudut-sudut jalan. Saya bilang “banyak”, karena beberapa waktu lalu saya pernah merasakan agak susah menemukan pedagang kue pancong ini.

Berbeda dengan pedagang kue bandros yang mangkal di lokasi tertentu di sudut kota Sukabumi, seperti pedagang kue bandros yang bernama Abah Ma’mun yang mangkal di Gang Harapan, yang pernah saya tuliskan dalam posting berjudul Dibalik Kue Bandros Gang Harapan pada tautan ini, pedagang kue pancong ini rata-rata berjualannya dengan berkeliling. Mereka bergerak membawa tanggungan menyusuri jalan-jalan dan gang-gang. Begitu rata-rata mereka menawarkan kue pancong dagangannya.

Rasa penasaran saya akan keberadaan pedagang kue pancong ini sedikitnya terpuaskan setelah saya mengobrol sejenak dengan salah seorang pedagang kue pancong ini…

***

Minggu pagi, seusai saya berjalan kaki menyusuri sudut-sudut kota Sukabumi, saya menemukan salah seorang penjual kue pancong. Melihat dari kejauhan Akang yang sedang serius menyiapkan kue pancong, apalagi melihat asap yang mengepul dari cetakannya, seperti mempunyai daya magis bagi saya untuk mendekatinya.

Akang sedang bersibuk membuat kue pancong
Akang sedang bersibuk membuat kue pancong

Berbeda dengan kue bandros, adonan kue pancong ini dominan dengan parutan kelapa. Warna kuenya yang putih dan cenderung lembek seakan bertolak belakang dengan kue bandros yang berwarna kuning dan bentuknya yang berisi dan kenyal. Rasa asli kue pancong yang cenderung agak asin ini lebih mantap bila ditaburkan gula pasir atau dicocol ke gula pasir sesaat kita menikmatinya.

Setahu saya, kue pancong ini dikenal juga dengan nama Bandros Kelapa. Penamaan ini pastilah berdasarkan pada bahan dasar kue pancong ini yang dominan parutan kelapa tersebut.

Saat saya duduk dekat Akang penjual kue pancong ini, sambil saya memperhatikan bagaimana proses pembuatannya dengan cukup rinci, seperti dapat dilihat pada foto dibawah ini, terjadilah obrolan santai antara Akang dan saya.

Proses pembuatan kue pancong

Penuturan Akang…

Rupanya Akang pedagang kue pancong ini berasal dari Garut. Setidaknya, demikian pengakuannya. Saya pribadi pernah bertanya pada beberapa pedagang kue pancong, pengakuan mereka sama. Sama, bahwa mereka ini berasal dari Garut.

Akang yang mandiriKalau memang benar apa yang pedagang-pedagang kue pancong ini sampaikan – bahwa mereka berasal dari Garut – saya pikir telah terjadi diversifikasi usaha pada orang-orang Garut ini. Terus terang saya biasa mengenal orang-orang Garut yang merantau ini sebagai tukang potong rambut. Salah satu langganan tempat saya memotong rambut di sekitar kontrakan saya di Bekasi, berasal dari Garut. Seperti saya pernah tuliskan pada posting Wilujeng Wengi Akang Asgar pada tautan ini.

Ketika saya bertanya pada Akang kenapa ia memilih profesi sebagai pedagang kue pancong, Akang terdiam sejenak. Mungkin Akang tidak menyangka akan keluar pertanyaan seperti itu dari saya.

Walau Akang tidak menjelaskan secara rinci, saya sedikitnya bisa menyimpulkan bahwa Akang ingin keluar dari kesulitannya mencari pekerjaannya di sektor formal. Mengingat kini Akang sudah berkeluarga, dan tentu saja disana timbul kebutuhan-kebutuhan hidup untuk menopang keluarga yang baru dibangunnya itu, maka Akang bergabung dengan teman-temannya di Sukabumi ini untuk mencari nafkah menjadi pedagang kue pancong keliling.

Kata Akang, tantangan untuk memulai langkah dan pilihan sebagai pedagang kue pancong ini justru timbul dari diri sendiri. Yang Akang maksudkan, perasaan gengsi. Semasa sekolah Akang tidak pernah membayangkan bahwa ia akan berkeliling dengan membawa tanggungan kue pancong ini. Namun keterdesakan akan kebutuhan hidup dan ketidakpastian dalam mencari pekerjaan di sektor formal, menanggalkan semua rasa gengsi itu.

“Biarlah sementara ini menjadi pedagang kue pancong saja. Siapa tahu besok-besok ada peluang lain yang lebih baik. Yang penting untuk saat ini bagaimana menghidupi keluarga dengan mandiri, tanpa tergantung lagi pada orang tua, dan tentunya bagaimana menafkahi keluarga dari cara memperolehnya yang halal…”, demikian penuturan Akang.

Alhamdulillah...
Alhamdulillah…

Dan, inilah kue pancong racikan Akang yang sudah siap untuk dinikmati. Taburkanlah gula pasir secukupnya, dijamin kue pancong ini lebih bercita-rasa…

Hidangan kue pancong
Hidangan kue pancong dengan taburan gula pasir

***

Saya terkagum saat mendengar apa yang Akang sampaikan dalam obrolan santai dan ringan tadi. Saya tahu pasti apa yang Akang sampaikan itu bukan isapan jempol semata.

Saya berpikir, luar biasa pejuangan hidup anak muda ini. Demi mandiri, ia meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan keluarganya dan juga menanggalkan gengsinya.

Sungguh saya salut dengan nilai dan semangat kemandirian yang mungkin secara tidak disadari oleh Akang pedagang kue pancong ini dimiliki dalam dirinya…

Sukabumi, 15 Maret 2015

Iklan

46 respons untuk ‘Antara Kue Pancong dan Semangat Kemandirian

Add yours

  1. hihi.. emang paling seru merasakan manis-gurih nya kue bandros kalapa ini.. rasanya bisa membawa kenangan-kenangan masalalu, biasanya sepulang mengaji ba’da ashar, pasti jajan kue bandros ini.

  2. wah… dari Garut ya? Coba sekali-kali Bapak tanya juga penjual kerak telur yang biasanya suka ada di keramaian… Beberapa penjual kerak telur yang saya tanya juga asalnya dari Garut… 😀

  3. Sekarang banyak makanan waktu kecil yang sudah masuk ke kota ya kang. Di kompleku juga ada mamang-mamang yang jualan kue -kue seperti ini.

    1. Betul Mas, banyak penjual makanan di kota-kota. Mereka dari desa-desa yg jauh, yang tidak tertampung oleh sektor formal. Kurang lebih begitu ya Mas?

      Salam,

  4. aku lbeihs uak bandros yang manis daripada kue pancong. Di dekat rumahku malah tukang mepek2 yang ngider berasal dari kawali Ciamis. Mungkin mereka saling mengajak temannya untuk ikut berjualan seperti mereka, jadi akhirnya kebanyakan tukang mepek2 ya orang Ciamis

    1. Lebih suka bandros ya Mbak? Di Sukabumi tersedia keduanya Mbak, tinggal pilih saja.
      Wah, malah disana kebanyakan orang Ciamis yg berjualan ya? Hebat juga mereka-mereka ini…

      Salam,

  5. Enak tuh kuenya, tapi jarang ada yang jual. Dimakan anget2 pas hujan, manyus ya Pak. Salut ya amak kemandirian si mas, niatnya cari rejeki yg penting halal, daripada koruptor yang ngabisin duit rakyat.

    1. Di tempat Mbak jarang yg jual kue pancong ya? Di Sukabumi banyak banget Mbak…
      Setuju banget, mencari rezeki yg halal dan tetap mandiri, ini yg bikin salut dgn perjuangan mereka.

      Salam,

    1. Hadeuh…maafken Mas kalau bikin laper pagi-pagi…
      Di Pemalang ada pedagang kue pancong gak Mas? Gak ketemu waktu saya kesana.

      Salam,

  6. Waktu masih kecil aku suka banget sama makanan ini tapi sekarang udah beranjak dewasa #cieee mulai jarang lagi makan makanan ini padahal tiap hari suka ada yang dagang depan rumah aku, xixi

    1. Suka banget ya Mbak? Hayu atuh Mbak kapan-kapan main ke Sukabumi ya. Kita sama-sama nikmati kue pancong ini sambil bercengkrama bersama keluarga tercinta.

      Salam,

Sila tinggalkan komentar sahabat disini...

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: