Dibalik Kue Bandros Gang Harapan

Kue Bandros, biasa disebut Bandros saja, merupakan satu jajanan tradisionil klasik yang saya temui di Sukabumi. Saya sebut klasik, karena saya sudah mengenal bandros ini sejak saya kecil di tahun 1970-an. Rasa bandros yang manis, namun tak terlalu manis ini, pas dinikmati ditemani segelas kopi panas atau kopi susu.

Ada beberapa pedagang bandros di Sukabumi yang tersebar, salah satu yang suka saya kunjungi adalah pedagang bandros yang mangkal di Gang Harapan. Gang Harapan yang berada di jalan A. Yani ini sering saya lewati kalau saya berjalan kaki di hari Sabtu atau Minggu.

Dibalik renyah dan manisnya rasa bandros Gang Harapan ternyata tersimpan kisah perjuangan hidup yang menarik dari pedagangnya, Abah Ma’mun.

Inilah sekelumit kisahnya…

***

Mengunjungi warung bandros Abah Ma’mun di pagi pertama awal tahun saat waktu belum menunjukkan jam 07.00 pagi. Dibarengi dengan hujan gerimis yang turun dan membasahi jalan-jalan kota, cukup membuat udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya. Dari kejauhan, di pojok Jalan A. Yani yang masih sepi dari kendaraan-kendaraan, terlihat Gang Harapan. Di mulut Gang Harapan ini Abah Ma’mun berjualan bandrosnya.

Saya mendekati Gang Harapan. Saya lihat Abah sudah bersibuk disana. Mempersiapkan bandrosnya cetakan demi cetakan. Bandros yang sudah matang, masih panas dan permukaannya yang mengepulkan asap, Abah masukkan ke tempat yang berbentuk kotak dan tertutup kaca.

Saya duduk dibangku yang tersedia. Memesan setengah cetakan bandros dan segelas kopi hitam. Jadilah pagi ini saya menikmati bandros yang masih hangat dan sesekali menyeruput kopi hitam, sungguh nikmat. Saya berpikir, ah rupanya ini jajanan tradisional pertama yang memasuki perut saya di pagi pembuka tahun baru ini…

Sambil saya menikmati hidangan bandros, mengalirlah percakapan yang santai antara saya dengan Abah. Percakapan ini tidak memberhentikan Abah dari aktifitasnya membuat bandros cetakan demi cetakan.

Tentang Abah

Abah Ma'mun sedang bercerita...
Abah Ma’mun sedang bercerita…

Menurut penuturan Abah, Abah sudah berjualan bandros sejak tahun 1969. Berarti sudah sekitar 46 tahun Abah berjualan bandros di Gang Harapan ini. Abah tidak pernah pindah lokasi berjualannya ini, sejak dahulu tetap di lokasi yang sama. Tak heran bila Abah sudah menjadi penduduk tetap di Gang Harapan ini, walaupun aslinya Abah berasal dari Plered, Cirebon. Abah masih ingat saat pertama berjualan bandros, harga bandros per cetakannya Rp 5,- Kini harga bandros per cetakannya sudah Rp 7.000,-.

Abah Ma’mun yang tahun ini menginjak usia 70 tahun, mempunyai 4 orang anak. Bakat dagangnya ini menurun ke anak-anaknya. Kini semua anak-anaknya menjadi pengusaha di Cirebon, namun tidak ada satupun anaknya yang mengikuti jejaknya sebagai pedagang bandros

Setiap hari, tanpa mengenal libur hari Minggu, Abah selalu berjualan bandros. Abah mulai membuka warung bandrosnya ini sejak jam 05.00 pagi sampai dengan jam 14.00 siang. Demikian terus menerus berulang setiap hari sepanjang tahun.

Jadi Abah tidak pernah libur? Setiap hari terus berjualan bandros?

Awalnya saya berpikiran demikian. Tetapi ternyata saya keliru. Abah tidak berjualan bandros selama bulan puasa. Selama bulan puasa dan ditambah sekitar 2 minggu setelah Lebaran Abah selalu tinggal di kampungnya. Ingin fokus beribadah dan dekat dengan keluarga, demikian Abah menjelaskan.

Jadi dalam 1 tahun, Abah akan “cuti” kurang lebih selama 6 minggu. Cuti yang sangat panjang bila dibandingkan dengan pekerja sektor formal yang memperoleh hak cuti selama 12 hari selama 1 tahun. Abah mempersiapkan program cuti panjangnya itu jauh berbulan-bulan sebelumnya.

Yang Abah lakukan sederhana saja. Tapi butuh konsistensi dan kekuatan hati untuk menjalankannya. Saat ini yang Abah lakukan adalah menyisihkan dari pendapatan berjualan bandrosnya Rp 200.000,- setiap minggu. Uang yang terkumpul itulah yang akan membiayai hidup Abah di kampungnya selama 6 minggu.

Luar biasa kan pola kerja dan pola cuti panjang Abah Ma’mun ini…

Begini Bandros Dibuat

Adapun proses pembuatan bandros ini sederhana saja. Kue yang terbuat dari adonan yang bahan dasarnya terigu ini, di masak dalam cetakan bergerigi yang memanjang. Adonan bandros dituangkan sedikit demi sedikit diatas cetakan ini. Saat adonan bandros sudah rapi dituangkan diatas cetakan, cetakan ini akan ditutup oleh penutup berbentuk kotak yang terbuat dari seng.

Dibawah cetakan, api kompor terus menyala untuk mematangkan adonan hingga mengembang dan menghasilkan bandros yang pas kematangannya.

Saat proses pembuatan itu berlangsung, saya lihat berkali-kali tangan Abah menyentuh kotak penutup cetakan yang terbuat dari seng itu. Entah sepanas apa yang Abah rasakan di tangannya sampai akhirnya Abah akan membuka tutup cetakan tersebut, yang menandakan bahwa bandros sudah matang. Bandros yang sudah matang itu, kemudian diangkat dari cetakannya. Bagian bandros yang berbentuk tonjolan-tonjolan itu berwarna kecoklatan bila sudah matang dan terasa renyah, sedangkan bagian atasnya yang berwarna kuning terasa empuk.

Saya penasaran berapa lama proses pematangan bandros dalam cetakannya ini. Dari mulai cetakan ditutup dengan penutupnya yang terbuat dari seng tersebut sampai dengan penutup tersebut dibuka, membutuhkan waktu antara 5,5 menit sampai dengan 6 menit. Beberapa kali saya perhatikan, tak pernah meleset dari kisaran waktu tersebut lamanya proses pematangan bandros. Dengan jumlah cetakan yang hanya satu dan jam berdagang Abah dari jam 05.00 pagi sampai jam 14.00 siang, dapatlah dikira-kira besarnya penghasilan Abah per hari dari berdagang bandros ini.

Inilah bandros setengah cetakan yang siap untuk dinikmati. Jangan lupa dengan segelas kopi hitam panas atau segelas kopi susu panas sebagai temannya. Sungguh sensasi yang luar biasa saat menikmatinya, terutama saat pagi yang dingin dan bergerimis…

Bandros yang mengundang selera
Bandros yang mengundang selera…

***

Dan, dari siapapun akhirnya kita dapat memperoleh pelajaran berharga bagaimana menyiasati derap kehidupan ini. Seperti dari Abah Ma’mun ini, yang demikian sederhana menjalani hidupnya tapi disana tersimpan konsep perencanaan yang matang dan konsistensi dalam menjalankannya. Bayangkan bagaimana Abah mempersiapkan cuti panjangnya dengan mempersiapkan biaya hidup yang nantinya akan dibutuhkan jauh-jauh hari sebelumnya.

Maka, belajarlah selalu dari guru-guru tersembunyi yang berada disekitar kita. Temukan mereka. Belajarlah dengan hati terbuka kepada mereka…

Sukabumi, 10 Januari 2014

Catatan
Posting ini telah di publish di VIVAlog-VIVAnews disini. Terima kasih.

Iklan

42 respons untuk ‘Dibalik Kue Bandros Gang Harapan

Add yours

  1. buset…

    saya udah hampir satu dekade ga makan bandros 😦
    jadi kangen waktu pergi ke ciawi dulu…
    kalo di rumah masih ada yang jual sagu rangi, sekilas mirip sih…

    terima kasih mas udah bikin “nostalgia” kembali 🙂

    1. Wah, sudah lama banget ya Mas, sudah hampir satu dekade gak makan lagi bandros…
      Hayu Mas kapan-kapan kalau sempat main ke Sukabumi, kita makan bandros bersama ya.

      Salam dan selamat bernostalgia… 🙂

    1. Saya terpesona mendengar cerita Abah ini, Mas. Apalagi saat beliau bilang selalu libur pas bulan Puasa, hanya memusatkan diri pada urusan ibadah dan keluarga saja.
      Kue bandros nikmat banget Mas dinikmati pagi hari berteman segelas kopi panas atau kopi susu.
      Kapan-kapan kalau Mas sempat jalan-jalan ke Sukabumi, yok kita ngebandros di Abah.

      Salam dari saya di Sukabumi,

    1. Kapan-kapan mesti nyicipi bandros Mas, hayu kapan2 kalau ke Sukabumi, saya traktir ngebandros deh.
      Wah masih muda banget ya. Thn 70 itu saya sudah di kelas 1 SD…

      Salam,

    1. Terima kasih Mbak.
      Saya baru tahu kalau di Malang kue ini namanya kue Rangin.
      Mbak aslinya Malang? Wah, sekota dgn Syaharani dong, penyanyi jazz kesukaan saya.

      Salam dari saya di Sukabumi,

      1. Iya, Pak, saya arek Malang asli :)… Wah, Mbak Syaharani duluuu pas jaman masih belum terkenal pernah beberapa kali nyanyi di rumah ortu saya lho, kan papa hobi musik dan temen2 papa banyak yang musisi… Dari dulu dia emang suaranya keren… Cantik lagi orangnya ya 🙂

        1. Ah belum pernah saya ke Malang, jadi pengen kapan2 main kesana. Sejuk ya Mbak udara disana?

          Wah, rupanya kenal ya dgn Mbak Syaharani? Saya suka dgn gaya vocal jazz nya Syaharani. Beberapa waktu lalu saya bertemu dan sempat berbincang dgn Syaharani di Yogya saat acara Ngayogyazz. Dia orangnya ramah dan enak diajak ngobrol juga rupanya. Saya telah tuliskan di posting saya Ngayogjazz: Bukan Hanya Suguhan jazz >> https://sisihidupku.wordpress.com/2014/11/26/ngayogjazz-bukan-hanya-suguhan-jazz/

          Salam,

          1. Sekarang sih Malang sudah gak sesejuk dulu… Kapan2 main ke Malang Pak, wisata kuliner… makanan Malang enak2 lho 😉
            Wah, pas Mbak Syaharani beberapa kali ke rumah ortu itu saya masih SMP kali… pastinya dia udah lupa sama saya 😛

    1. Berarti belum pernah menikmati kue Bandros ya Mbak?
      Nah ini, saya belum pernah pesan yg setengah mateng. Boleh dicoba nih kapan2…

      Salam,

        1. Ah, sayang saya gak bisa hadir di Sunday Sharing besok hari Minggu. Kalau bisa hadir beneran deh saya bawain bandros untuk Mbak…
          Kapan-kapan main ke Sukabumi Mbak, saya traktir makan bandros deh… 🙂

          Salam,

  2. Jajanan dr masa ke masa banget ini si bandros ya Kang.
    Perasaan sih dr bunda msh SD sampai skrang dah bercucu, bandros masih aja ada yg jual, walaupun sdh agak jarang.

    Eh ya Kang, pas baca ttg kehidupannya Abah bandros itu, kyknya bagus juga ya utk ide penulisan buku dgn latar belakang tokohnya penjual bandros….
    (semacam fiksi tp ide nya dr kisahnya Abah gitu) hehehe…

    Salam

    NB: aiiish punten ya Kang, knpa jd panjang amat ini si bunda komennya… 😦

    1. Iya Bunda, bandros ini legendaris banget. Saya kenal kue ini dari tahun 70-an, sampai sekarang masih eksis dan masih banyak juga penggemarnya.
      Membuat fiksi dgn latar belakang kisah Abah ini ya Bunda? Bagus banget idenya, tapi saya belum mampu nulis fiksi…
      Senang juga dengan komen Bunda yg panjang begini. Terima kasih banget.

      Salam,

    1. Wah, ternyata mbak Zizy suka juga dgn kue bandros ini…
      Saya bisa menikmati bandros kalau pulang akhir pekan saja ke Sukabumi, di Bekasi saya belum menemukan pedagang kue bandros ini.
      Kapan-kapan ke Sukabumi, mampir ke bandros Abah di gang Harapan ini Mbak.

      Salam,

Sila tinggalkan komentar sahabat disini...

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: