Kisah tentang perjuangan hidup tak akan habis-habisnya kita gali. Berbagai kisah, berbagai sisi kehidupan, yang akhirnya bermuara pada berbagai pelajaran hidup akan kita dapatkan, baik dari orang-orang yang berada di dekat kita maupun orang-orang di belahan dunia lainnya.
Adalah Abah Ahmad, atau selanjutnya kita sebut saja dengan panggilan akrabnya – Abah, seorang penjual bubur ayam yang biasa mangkal setiap hari di salah satu sudut Jalan A. Yani, Sukabumi. Sosok sederhana, karena ia hanya rakyat biasa saja, namun – setidaknya bagi saya pribadi – ia adalah sosok yang luar biasa karena kesetiaannya pada profesi yang diembannya sebagai penjual bubur ayam.
Abah adalah gambaran sosok sederhana yang menjalani hidup dalam kemandirian, potret sebagian besar anggota masyarakat yang hidup sederhana yang menempati sudut-sudut negeri yang kaya ini.
Mari, saya perkenalkan Abah, perjuangan hidupnya dan bubur ayam racikannya…
***
Hari Minggu lalu, 30 November 2014, saya menyusuri jalan-jalan kota Sukabumi. Jalanan dan sudut kota yang masih sepi mengingat jam baru menunjukkan sekitar jam 07.00-an pagi. Saya melewati jalan raya yang boleh disebut sebagai jalan raya utama, Jalan A. Yani.
Diperempatan antara Jalan A. Yani dan Jalan Pelabuhan terlihat gerobak bubur ayam yang biasa mangkal disana. Bubur ayam yang dikenal dengan sebutan Bubur Ayam Abah menunjuk ke pemilik gerobak bubur ayam tersebut yang akrab dengan panggilan Abah.

Tentang Abah
Setiap pagi Abah mendorong gerobaknya dari rumahnya di daerah Gang H. Juwaeni. Jarak dari rumahnya sampai ke tempat mangkal jualannya mungkin sekitar 1 km-an. Abah biasa berangkat dari rumahnya sekitar jam 04.00 subuh. Menembus udara dingin Sukabumi, mendorong gerobak buburnya demi mencapai tempat mangkalnya, begitu Abah lakukan setiap hari demi mengais rezeki yang halal dan menghidupi keluarganya. Hal yang selalu Abah lakukan sejak memulai profesinya hingga kini, yang tak terasa – seperti kata Abah – sudah 37 tahun.
Ya, 37 tahun sudah Abah berjualan bubur ayam. Sungguh waktu yang teramat panjang.
Menurut penuturan Abah, ia memulai usahanya ini sejak tahun 1977 saat usianya menginjak 40 tahun. Abah menetapkan pilihannya menjadi penjual bubur ayam setelah berbagai jenis usaha ia jalani. Entahlah kenapa Abah akhirnya memilih menjadi penjual bubur ayam.
Abah sudah berusia 77 tahun dan sudah memiliki 7 orang cucu. Abah tetap menjalankan usahanya ini dengan konsisten seperti 37 tahun lalu saat ia memulainya. Sungguh, jiwa mandiri demikian melekat pada diri Abah walau ia bisa saja diam di rumah dan hidup dalam usia tuanya dengan uluran tangan dari anak-anaknya. Tapi Abah tidak melakukan itu.
Tentang Bubur Ayam Abah
Bubur ayam racikan Abah ini boleh saya sebut sebagai bubur ayam klasik khas Sukabumi. Saya sebut klasik karena sejak tahun 1970 racikannya tetap sama seperti ini, bubur ayam yang diberi pepes jeroan ayam, irisan keroket dan irisan daging ayam sebagai penutup racikannya. Cita rasa bubur ayam racikan Abah ini mirip dengan bubur ayam racikan Mang Deden, yang telah selama 30-an tahun berjualan bubur ayam, seperti pernah saya tuliskan pada posting berjudul Pengabdian Mang Deden: 30 Tahun Berjualan Bubur Ayam.
Saat ini berbagai racikan bubur ayam dapat ditemukan, yang berbeda dengan racikan bubur ayam Abah. Contohnya, inovasi yang dilakukan Kang Yudi, tukang bubur ayam yang relatif berusia muda dan biasa mangkal di depan Alun-alun Sukabumi, dapat dicatat sebagai racikan bubur ayam dari generasi muda penjual bubur ayam, seperti pernah saya tuliskan disini.
Proses meracik bubur ayam khas Abah dimulai dengan penuangan bubur kedalam mangkuk, pemberian kecap diatas bubur dan penaburan kerupuk, daun seledri dan goreng daun bawang diatasnya. Kemudian, ditaburkan irisan daging ayam, pepes jeroan ayam dan irisan keroket sebagai tahap akhir penyiapan bubur ayam sebelum akhirnya bubur ayam itu siap untuk disajikan dan disantap.
Beginilah proses meracik bubur ayam yang Abah lakukan saat saya perhatikan langkah demi langkahnya.
Dan, inilah bubur ayam racikan Abah yang telah siap untuk dinikmati…

Sekitar jam 08.00 bubur ayam Abah sudah mulai ramai dikunjungi pelanggan-pelanggannya. Sebagian mereka yang sudah selesai melakukan geran badan di hari Minggu pagi. Tentunya nikmat sekali menikmati bubur ayam saat tubuh terasa letih seusai bergerak badan.
Disela-sela kesibukannya meracik dan mempersiapkan hidangan bubur ayamnya, Abah biasa rehat sejenak sambil minum teh panas kesukaannya dan bahkan sempat juga memberi waktu kepada saya untuk ngobrol sejenak dan memotretnya bersama dengan istri saya, yang merupakan salah satu pelanggan setia bubur ayam Abah sejak lama…
Ah, Abah… Abah….
***
Semangkuk bubur ayam akhirnya tidak melulu hanya soal cita rasa kuliner saja, namun ia juga bisa berkisah tentang perjalanan dan perjuangan hidup. Perjuangan hidup yang pantang menyerah dan pasrah dalam kesulitan namun tetap berdiri tegak dan penuh harapan dalam usaha yang mandiri. Setidaknya itu yang saya temukan dari semangkuk bubur ayam racikan Abah.
Abah Ahmad tetap bagaikan pelita dalam kehidupan masa kini. Sosok yang memberikan banyak pelajaran bagi siapapun yang hendak belajar dari dirinya, walaupun Abah tidak pernah mengucapkannya atau bahkan berlaku seperti seorang guru.
Sukabumi, 6 Desember 2014
Catatan
Posting ini telah di publish di VIVAlog-VIVAnews disini. Terima kasih.
Ah. Salam buat si Abah ya Pak kalau ketemu.
Perjuangannya, memberi pelajaran buat kita semua…
Sabtu ini saya pasti mampir di bubur ayam Abah, mbak. Nanti saya sampaikan salamnya.
Salam,
Jadi hoyong emam bubur, kisahnya persis seperti alm Abah saya, tapi Abah saya bukan Tukang Bubur tapi Tukang Cukur, beda sakedik nya hurufna! ,perjuangan hidup seorang Abah yang harus membiayai anak istrinya, inshaa Allah setiap tetes keringatnya jadi penggugur dosa, dan menjadi pahala di akhirat nanti, aammiinn! salam dari Cianjur buat Abah!
Ah ada kemiripan antara kisah Abah Ahmad ini dengan Abah nya ya Kang?
Insya Allah, menjadi seperti yang Akang ungkapkan diatas.
Salam,
Wah… Rame sekali ya kang pembeli bubur ayamnya Abah..
Nitip salam untuknya kang.. 🙂
Salam hangat dari Bondowoso.
Sabtu dan Minggu menjelang siang ramai dengan pembeli bubur ayam Abah ini, Mas.
Insya Allah nanti saya sampaikan salamnya ke Abah.
Salam dari saya di Sukabumi,
perjuangan nya luarbiasa ya kakak, serta rame juga ya yang beli.
Sungguh luar biasa. Hal yang menjadi semacam pelajaran bagi generasi muda bagaimana menghadapi hidup yang mandiri.
Salam,
Saya pernah makan di tempat itu, buburnya enak dan kalo hari minggu rame pisan
Betul Kang, cita rasa bubur ayamnya yg khas nikmat pisan…
Salam,
Wah, pasti lezat banget, apa lagi disantap di pagi hari.
Tidak salah lagi, Mas. Memang lezat dan biasanya saya mampir disini pagi hari seusai jalan kaki pagi.
Salam,
mas katanya di kota sukabumi ada yg jualan bubur ayam yg maknyus itu dimana ya???
Yang maknyus dan terkenal, yang dikelola secara profesional, mungkin bubur ayam Bunut, mbak.
Salam,
ini gak dijadiin sinetron kan ya? hihihi
Hehehe…belum, mbak.
Salam,
Abah, kepadamu saya belajar melalui tulisan Pak Titik Asa ini: tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang rezeki, dan tentang kebahagiaan. Hmmm…, enak sekali bubur ayamnya ya, Pak 🙂
Ah iya Mas, sama-sama kita belajar dari Abah. Tokoh biasa yang luar biasa…
Salam dari saya di Sukabumi, Mas.
Semua sudah ada wadah dan takarannya mas. Dan seperti itulah Tuhan memberikan gambaran kehidupan. Begitu juga dengan Abah ini. Semoga perjuangan abah itu tidak dilandasi materi tetapi wujud kecintaan kepada Allah dalam menjalankan garis takdir dan kehidupan….
Sepakat dengan pernyataannya mbak dan semoga demikianlah perjuangan Abah. Insya Allah…
Salam,