Sekelumit Perjalanan Hidup

Kehidupan adalah lembaran-lembaran sejarah, baik yang tertulis maupun yang hanya diucapkan lewat penuturan lisan. Bagaimanapun bentuknya, saya pikir, itu merupakan dokumentasi atas rekam jejak hidup kita di masa lalu hingga bertaut ke masa kini dimana diri kita saat ini berada.

Menatap masa lalu mau tidak mau kita seolah disadarkan kembali akan dimensi waktu. Dimensi yang “menjebak” setiap insan untuk tetap “dipaksa” bergerak maju kedepan. Surut ke belakang secara fisik adalah hal yang mustahil. Namun surut ke belakang sejenak secara pikiran dan imajinasi masih dapat kita lakukan.

Medium yang dapat membawa pikiran dan imajinasi kita ke masa lalu adalah, salah satunya, melalui potret-potret masa lalu yang masih tersimpan dan terawat hingga kini.

Saya menelusuri sekelumit perjalanan hidup saya melalui media potret-potret yang saya temukan pada album keluarga saya yang saya buka mulai dari buyut saya hingga sekitar tahun 1978-an. Sepertinya ini menjadi tulisan narsis yang bercerita hanya tentang diri saya sendiri. Untuk itu, mohon dima’afkan.

Bila berkenan, mari saya ajak sahabat blogger menelusuri potret-potret masa lalu yang saya temukan itu…

***

Tentang Buyut

Abah Asep Abdas Djajadikarta.
Abah Asep Abdas Djajadikarta.

Foto tertua yang saya temukan pada album keluarga saya adalah foto buyut saya, Abah Asep. Beliau bernama lengkan Asep Abdas Djajadikarta, dilahirkan di desa Cijurey pada tahun 1853 dan wafat di desa Cibaregbeg, Sagaranten pada tahun 1946. Kedua daerah tersebut kini berada dalam kawasan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Saat Abah Asep muda, negeri kita masih dalam pendudukan Belanda. Salah satu hasil bumi yang terkenal dari kawasan Sukabumi adalah teh. Teh ini dihasilkan dari berbagai perkebunan yang banyak tersebar di Sukabumi. Salah satu perkebunan teh yang ada pada saat itu adalah Perkebunan Teh Miramontana yang letaknya di daerah Purabaya. Abah Asep dahulu bekerja pada perkebunan teh ini sebagai Mandor Besar. Begitu penuturan Bapak tentang kakeknya ini.

Tentang Kakek dan Nenek

Kakek saya bernama H. Affandi Hardjasasmita yang beristrikan Hj. Titi Mulyati. Mengikuti jejak orang tuanya, kakek bekerja di perkebunan juga. Hanya saja kakek tidak bekerja di perkebunan teh, tapi beliau bekerja di perkebunan karet. Beliau bekerja di Perkebunan Karet Pasir Kananga yang berlokasi di Sagaranten, Kabupaten Sukabumi. Beliau bekerja di perkebunan itu cukup lama, dari mulai tahun 1937 hingga tahun 1955.

Pada tahun 1952, kakek memboyong keluarganya untuk pindah dan menetap di kota Sukabumi. Kakek membeli sebuah rumah yang cukup besar di daerah Cikiray untuk tempat tinggal bersama nenek dan ketujuh anak-anaknya. Menurut penuturan Bapak kepindahannya ke kota Sukabumi lebih didorong oleh faktor keamanan yang kian rawan di kawasan Sagaranten. Situasi politik dan keamanan yang kian mengkhawatirkan tersebut dipicu oleh adanya gerakan dari pasukan-pasukan yang biasa disebut sebagai gerombolan.

Kakek dan Nenek, 1952.
Kakek dan Nenek, 1952.
Keluarga Affandi, 1954
Keluarga Affandi, 1954.

Adapun Emak baru pindah ke kota Sukabumi di sekitar tahun 1959. Emak yang aslinya berasal dari daerah Purabaya ini di Sukabumi tinggal dan menetap pada kakek angkatnya yang tidak mempunyai keturunan. Kedua orang tua ini rumahnya juga di daerah Cikiray, tidak begitu jauh dari rumah keluarga Affandi. Saya menyebut kedua orang tua yang merawat Emak ini sebagai Aki Didi dan Mimih Eni. Sebutan seperti yang Emak ajarkan kepada saya bila memanggil kedua orang tua ini.

Ki Didi dan Mimih Eni yang merawat Emak.
Ki Didi dan Mimih Eni yang merawat Emak.

Tentang Bapak dan Emak

Tahun 1959 merupakan masa remaja bagi Bapak dan Emak. Tahun itu Bapak bersekolah di SMA Mardi Yuana, Sukabumi, satu-satunya sekolah menengah atas yang ada di Sukabumi pada saat itu. Konon, masih ada beberapa guru yang berbangsa Belanda mengajar disana. Tak heran kalau Bapak sedikit menguasai bahasa Belanda dan sampai saat ini masih tetap mengenang guru-gurunya yang berbangsa Belanda yang, kata Bapak, badannya besar-besar.

Masa remaja Bapak dan Emak,1959.
Masa remaja Bapak dan Emak,1959.

Saya membayangkan kota Sukabumi saat itu sebagai kota yang indah, nyaman dan asri. Masa itu cukup banyak terdapat bioskop disana. Cerita tentang film-film yang ditonton oleh Bapak dan Emak saat remaja tetap merupakan hal yang menarik bagi saya. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan saat ini yang tidak ada satupun bioskop di Sukabumi. Saya pribadi kini hanya dapat melihat jejak-jejak bioskop ini seperti yang pernah saya tuliskan pada posting Jejak Bioskop-Bioskop di Kota Sukabumi.

Tahun 1963, Bapak dan Emak menikah. Sayangnya pernikahan ini tidak diabadikan oleh jepretan kamera. Konon, biaya untuk memanggil tukang potret dirasa sangat mahal untuk saat itu.

Potret-potret Bapak lainnya yang saya temukan diantaranya potret Bapak saat tergabung dalam resimen mahasiswa pada tahun 1966 dan potret Bapak saat bekerja di salah satu kantor Notaris di Sukabumi sekitar tahun 1974.

Bapak saat Menwa, 1966 dan pekerja kantor Notaris, 1974.
Bapak saat Menwa, 1966 dan pekerja kantor Notaris, 1974.

Ini, tentang saya…

Baiklah, tentang diri saya sendiri, saya sampaikan saja dalam beberapa potret lama yang saya temukan pada album keluarga. Berikut ini potret-potretnya…

Saya tertegun dan terdiam sejenak bila melihat kedua potret dibawah ini. Betapa tidak, yang pertama ini adalah potret ketika saya masih berada dalam kandungan Emak. Kata Emak, potret ini diambil sekitar 2 minggu sebelum beliau melahirkan saya, berarti pada pertengahan bulan Juli tahun 1964. Terlihat wajah Emak demikian bahagia dengan kandungannya yang kian dekat menjelang kelahiran. Kebahagiaan ini salah satunya Emak wujudkan dengan menyempatkan diri untuk singgah ke salah satu studio potret yang ada di Sukabumi.

Yang kedua adalah potret saya yang tampak demikian nyaman dalam pangkuan Emak. Entah berapa bulan usia saya saat itu. Pada potret inipun terpancar rona kebahagiaan pada raut wajah Bapak dan Emak.

Saya masih dalam kandungan dan saya dalam pangkuan Emak.
Saya masih dalam kandungan dan saya dalam pangkuan Emak.

Dibawah ini adalah adalah potret saya bersama adik saya tercinta. Yang atas adalah potret yang diambil pada tahun 1968. Saya dan adik saya yang lucu, sehat dan gemesin. Di kiri bawah, saya bergaya sendiri. Ini potret saya tahun 1969. Sedangkan di kanan bawah, potret saya dan adik saya yang diambil sekitar tahun 1971.

Melihat potret masa kecil saya bersama adik saya tercinta sering menimbulkan perasaan haru yang dalam. Haru mengingat adik saya tercinta kini sudah tiada. Ia telah meninggal saat berusia 40 tahun.

Saya dan adik saya tercinta, 1968, 69 dan 71.
Saya dan adik saya tercinta, 1968, 69 dan 71.

Berikut adalah foto saya bersama teman-teman masa kecil. Yang atas adalah potret yang diambil pada tahun 1969 di halaman belakang Mesjid Jami di Cikiray. Perhatikan pakaian yang sehari-hari dikenakan oleh anak-anak pada masa itu dan juga bagaimana anak-anak bermain tanpa memakai alas kaki. Hal yang lumrah pada saat itu.

Sedangkan potret dibawahnya adalah saat saya menjadi murid pada SD Gedong Panjang, Sukabumi pada tahun 1972. Masih lekat dalam ingatan kalau saat itu tidak lazim bersekolah memakai sepatu. Kebanyakan murid-murid bertelanjang kaki walau memang ada sebagian kecil murid yang memakai sandal. Juga belum ada peraturan yang mengharuskan menggunakan pakaian seragam. Anak-anak bersekolah menggunakan pakaian sehari-hari yang juga biasa dipakai saat bermain. Saya masih ingat juga dengan kondisi sekolah yang sangat sederhana. Lantainya belum ditembok, hanya berlantai tanah yang keras saja.

Saya dan teman-teman, 1969 dan 1972.
Saya dan teman-teman, 1969 dan 1972.

Terakhir, ini potret keluarga yang diambil pada tahun 1969, potret sebelah kiri, dan tahun 1978, potret sebelah kanan, saat anggota keluarga sudah bertambah dengan hadirnya adik saya yang kedua. Saya pikir, beginilah tipikal keluarga kecil saat itu

Potret keluarga kecil 1969 dan 1978.
Potret keluarga kecil 1969 dan 1978.

***

Dalam pikiran dan imajinasi, kita bisa kembali menelusuri masa lalu. Sekedar menoleh sejenak ke belakang dan mencoba menemukan mutiara-mutiara kehidupan yang kiranya tersimpan disana.

Banyak pelajaran yang dapat diambil dari sana. Satu hal yang pasti, kasih sayang kedua orang tua, dan terutama kasih sayang seorang ibu yang telah mengandung selama sembilan bulan, tetap berkilauan disana.

Bekasi, 25 Maret 2014

Posting ini terkhusus dipersembahkan kepada ketiga anak saya tercinta: Aa, Dede dan Upe dan juga kedua anak alm. adik saya tercinta: Ika dan Ofi. Masa lalu tetap terpaut dalam kekinian hidup kita. Ambil hikmahnya, catat dan tuliskan. Jadikan ia menjadi lembaran sejarah dalam hidup kalian…

46 respons untuk ‘Sekelumit Perjalanan Hidup

Add yours

  1. Subhanallah…fotonya masih lengkap semua ya…sy pingin bikin postingan ttg kakek sy yg perkasa dan suka mengembara…tp foto-foto kakek hilang semua…senang sy lihat foto-foto keluarganya Pak…

    1. Alhamdulillah foto-fotonya masih ada, walau beberapa kondisinya sudah kurang bagus, Mbak.
      Sepertinya menarik kisah tentang kakeknya, Mbak. Sayang foto-fotonya pd hilang ya…

      Salam,

  2. Ya Allah…Kang, itu foto masih komplit yaa..
    dari Uyut sampai generasi per generasi…
    luar biasa perawatan pada album foto ini 🙂

    dan….seperti juga yang dikatakan orang bijak, ketika kita menatap masa lalu, masa depan telah menyingkapkan tabirnya untuk ditempuh .

    Untunglah sekarang ada blog, tempat dimana kita bisa menyimpan segalanya melalui foto dan tulisan untuk anak cucu nantinya…

    Salam

    1. Iya Bunda, masih cukup komplit foto-fotonya. Walau ada yang sudah pudar warnanya disana-sini, tapi tetap masih dinikmati.

      Saya suka dengan kata orang bijak itu. Jadi saatnya kini menyingkap tabir-tabir untuk ditempuh di depan.

      Salam hormat dari saya, Bunda.

    1. Ah geuningan Akang teh per-Purabayaan oge…

      Upami pun biang mah ti kampung Kuta, Kang. Geuning sateuacan Purabaya aya simpangan Muara. Tah ti dinya lebetna. Keluargi pun Bapa mah kapungkur di Cibaregbeg.

      Sami-sami urang pakidulan urang teh geuning… 🙂

      Salam,

  3. Aah senangnya menengok ke masa lalu ya pak, kebayang suasana Sukabumi tempo dulu. Ikut berduka atas wafatnya adik tercinta pak, semoga beliau sekarang sudah bahagia. 🙂

    1. Betul, Teh. Menengok masa lalu memang memberikan rasa suka dan juga haru…
      Terima kasih do’anya, Teh. Semoga adik saya tercinta berbahagia di sisiNya…

      Salam,

  4. Masha Allah! fhotona masih keneh cekas kang! ningalna janten emut ka rundayan karuhun abdi, sami-sami urang sunda geuning, abdi ti Cianjur, salam baktos ka sadayana!

    1. Alhamdulillah foto-fotona masih cekas keneh, Teh. Ieu di edit sakedik, geuning mung sakieu pol na.
      Sumuhun abdi asli Sunda. Sunda pakidulan Sukabumi.

      Salam baktos oge, Teh.

    1. Begitu ya Mas.
      Ini juga saya kumpulkan dari album keluarga. Banyak foto yang sudah hancur. Beberapa yang masih agak bagus saya tampilkan di posting ini.

      Salam,

  5. …bangga, haru dan sedih….ketika membaca perjalanan kehidupan kang Bambang….hampir sama dengan perjalanan kehidupan keluarga kami…selamat kang…!

    1. Sumuhun Kang upami ninggali foto-foto ieu abdi oge aya perasaan haru.
      Mirip Kang sareng perjalanan keluarga Akang? Nembe terang abdi…

      Salam,

  6. Tulisan yang sangat bagus, betapa silsilah keluarga itu perlu untuk tetap bisa menyatukan keluarga besar dari semua keturunan nenek buyut kita.

    1. Terima Kasih Mbak Mei…
      Betul tentang silsilah keluarga itu. Saya disini hanya sedikit saja menuliskan berdasar foto-foto yang saya temukan pd album keluarga.

      Salam,

    1. Ah iya Mas, kasih sayang ibu sepanjang masa…
      Foto thn 1968 ya Mas? Kalau lihat foto itu saya suka senyum-senyum sendiri. Ternyata dahulu saya pernah selucu itu rupanya… 🙂

      Salam,

Tinggalkan Balasan ke Titik Asa Batalkan balasan

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑