Sahabat Lama Dilupakan Jangan

Pada akhirnya, ketika usia semakin bergerak senja, yang namanya sahabat itu memang hanya sedikit tersisa. Konon mempunyai sahabat yang benar-benar sahabat sejumlah jari sebelah tangan saja itu sudah boleh dikatakan banyak.

Sahabat-sahabat semasa kecil, semasa sekolah atau semasa kuliah masing-masing berjuang di jalan mereka. Beberapa sempat kembali bertemu, beberapa tidak. Beberapa yang sempat bertemu itu, yang dulunya demikian akrab, sekarang rasanya untuk sekedar berbicara apa adanya saja sudah demikian kagok. Apalagi berbicara bebas penuh dengan canda tawa seperti dahulu kala. Benar-benar terasa seakan itu hal yang mustahil. Terasa ada semacam dinding tebal yang menghalangi.

Demikian yang sering saya rasakan…

***

Satu orang sahabat saya semasa SMA yang tetap melekat dalam ingatan itu bernama Abidin. Sekarang saya memanggilnya sebagai Kang Bidin saja. Ia benar-benar sahabat saya yang demikian akrab. Teman belajar bersama, teman diskusi bersama, teman membaca buku bersama. Dahulu saya sering menginap dirumahnya untuk belajar bersama, tapi lebih seringnya hanya untuk sekedar ngobrol saja.

Saya menggambarkan Kang Bidin ini sebagai pribadi yang unik. Atau mendekati agak “aneh” untuk seorang anak manusia yang sempat mengecap pendidikan sampai bangku SMA. Dari dahulu ia tidak pernah bercita-cita untuk hidup dan tinggal di kota-kota besar. Hal itu karena ia sendiri tidak pernah punya cita-cita untuk bekerja di perusahaan jenis apapun. Ini yang tadi saya bilang aneh itu.

Yang saya tahu pasti semasa SMA ia sudah menjadi guru ngaji di rumahnya. Murid-muridnya, yang kebanyakan anak-anak, ramai mendatangi rumahnya selepas waktu Ashar. Setelah lulus dari SMA, ia benar-benar melanjutkan kegiatan menjadi guru ngajinya itu dengan menjadi guru ngaji di sebuah madrasah yang dikelola oleh satu yayasan, yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Mengajar di madrasah itu biasanya dimulai dari sekitar jam 13-an siang samai jam 16-an. Pagi hari sampai tengah hari biasa Kang Bidin isi dengan kegiatan berkebun dan mengurus ternak peliharaannya.

Setelah sekian lama selalu tertunda dan menunda-nunda, akhirnya hari Minggu kemarin jadi juga saya dan istri mengunjungi rumah Kang Bidin. Terasa konyol memang kalau sebenarnya rumah Kang Bidin ini tidak terlalu jauh dari rumah saya sekarang. Paling hanya berjarak 10 km-an saja. Naik angkutan umumpun tak lebih dari setengah jam. Kenapa sampai sekian tahun saya tidak pernah lagi mengunjungi rumahnya? Apa benar saya ini seorang sahabat yang baik? Konyol dan memalukan. Demikian saya bergumam dalam hati.

Benar-benar pangling ketika menuruni jalanan kecil ketika hampir mendekati rumahnya. Dahulu jalan kecil ini hanya berupa tanah dengan sedikit bebatuan penahan licin kala di musim hujan. Sekarang jalan kecil ini sudah dilapisi tembok. Bukan hanya jalannya saja, bahkan  jembatanpun telah juga bertembok rapi. Sebenarnya ini pemandangan yang tak ingin saya saksikan. Saya justru merindukan keadaan seperti semula dengan jalan kecil tanah dan jembatan yang terbuat dari beberapa ruas bambu.

Jalan kecil yang menurun menuju rumah Kang Bidin.
Jalan kecil yang menurun menuju rumah Kang Bidin.

Jembatan ini memang masih baru selesai dibangun. Disebelahnya masih ada beberapa ruas bambu yang merupakan jembatan terdahulu hasil swadaya keluarga Kang Bidin yang tinggal disana. Diseberang jembatan terlihat rumah Kang Bidin yang sangat sederhana. Rumah panggung yang dominan terbuat dari bambu dengan tiga bangunan utama. Bangunan pertama sebagai rumah utama, bangunan kedua diperuntukkan untuk dapur dan bangunan ketiga dikhususkan untuk kandang domba peliharaan.

Akhirnya saya bertemu juga dengan Kang Bidin. Ngobrol ngaler-ngidul di bagian depan rumah panggungnya sungguh mengasyikan. Sekian lama tak berjumpa ternyata tak ada yang berubah dengan jalan hidup Kang Bidin. Ia tetap mengajar di madrasah di siang hari, dan tetap bekerja di kebun dan mengurus domba peliharaannya di pagi hari. Ia nampak tak bergeming untuk tetap kukuh di jalan hidupnya ini meskipun perkembangan zaman sudah berlari demikian cepat.

Saat mengobrol ini saya kembali mengingat-ingat, kapan ya terakhir kali saya mengunjungi rumahnya ini? Sungguh saya dan istri tak dapat menentukan tahun yang pasti kapan terakhir kami kesini. Mungkin sekitar tahun 1994. Mungkin. Hanya yang masih kuat tertanam dalam ingatan, saat dulu terakhir kemari kedua anak saya yang masih kecil merengek dan memaksa untuk bermain dan mandi di sungai di depan rumah Kang Bidin ini. Saya masih ingat betapa kedua anak saya ini sangat riang bermain dan mandi di sungai hingga lupa waktu.

Kalau memang benar tahun 1994 terakhir kami kemari, berarti sudah 20 tahun berlalu. Yang pasti, kini kami sudah tak muda lagi. Dan yang pasti lagi, sungai yang berada di depan rumah Kang Bidin sudah tak layak lagi untuk dipakai mandi. Kini airnya berwarna coklat. Kontras dengan 20 tahun lalu saat sungai ini masih bening airnya dan kerap dijadikan tempat untuk mandi dan mencuci penduduk setempat.

Sungai yang kini airnya berwarna coklat.
Sungai yang kini airnya berwarna coklat.

Saya sempat juga melihat kandang domba yang berada disamping paling pojok rumah Kang Bidin. Katanya, kandang domba ini dalam perbaikan. Akan diperluas sedikit untuk menampung beberapa ekor domba lagi. Saya lihat ada 6 ekor domba yang berukuran sedang dalam kandang. Domba-domba ini dipelihara dan dibesarkan biasanya untuk menyambut Hari Raya Idul Adha. Saat itu harga jualnya akan cukup tinggi, saat yang tepat bagi Kang Bidin untuk menjual beberapa ekor domba peliharaannya itu.

Kang Bidin dengan domba peliharaannya.
Kang Bidin dengan domba peliharaannya.

Siang hari tiba saat saya harus berpamitan. Rasanya kerinduan yang lama tertahan belum tuntas diungkapkan. Baiklah, satu saat kedepan saya akan menyempatkan diri untuk menginap di rumah Kang Bidin ini. Ingin rasanya mengulang seperti saat dahulu saya menginap dirumahnya, ngobrol semalaman hingga waktu subuh tiba.

Sebelum melangkah pulang, saya sempat memotret Kang Bidin bersama beberapa anak-anak muridnya di madrasah. Senyum khas yang penuh harapan akan masa depan yang lebih baik tetap tersungging dibibir Kang Bidin.

***

Entah pelajaran hidup apa yang saya dapatkan dari seorang Kang Bidin. Hanya keyakinannya akan pilihan jalan hidupnya, yang seakan menyingkirkan diri dari hiruk-pikuk keramaian kehidupan zaman sekarang yang serba mngejar materi dan kekuasaan, akan tetap saya kagumi.

Bekasi, 12 Maret 2014

Iklan

46 respons untuk ‘Sahabat Lama Dilupakan Jangan

Add yours

  1. Saya nggak banyak punya sahabat lama 😦
    Kebanyakan sahabat karena pertemanan Blogger 😀
    Suasana kampungnya adem, jadi ingin liburan di tempat seperti itu.

    1. Sama dengan saya Mbak Indah. sahabat lama tinggal beberapa saja…
      Wah, malah banyak sahabat dari pertemanan blogger ya Mbak? Saya hanya berteman maya saja, belum ada saat yang pas untuk saya bertemu dgn sahabat-sahabat blogger tersebut…
      Tentang suasana kampung, iya masih adem, Mbak.

      Salam,

    1. Masih berumah panggung juga disana Mas?
      Nikmat berdiam di rumah panggung ini. Adem dan nyaman.
      Sepakat Kang, silaturahmi harus tetap terus terjalin…

      Salam,

  2. Assalaamu’alaikum wr.wb, mas Titik Asa….

    Apa khabar ? Didoakan mas Titik dan keluarga sihat dan bahagia.
    Bagus ya, masih punya sahabat lama yang akrab dan bisa dikunjungi. Saya juga ada teman akrab sejak di sekolah menengah. Tetapi sangat jauh lokasi rumahnya sehingga tidak bisa bertemu. Hanya chat di YM. Kini, sudah lama tidak bersilaturahmi kerana masing-masing sibuk.

    Mudahan aja persahabatan dengan kang Bidin akan terus hingga ke akhirat. Ternyata Kang Bidin punya prinsip hidup yang baik dan keras sehingga kekal hidup dengan tenang di kawasan kampung yang damai dan lestari alamnya. Saya suka melihat perkampungan yang permai seperti ini. Ditempat saya, kampungnya sudah banyak yang moden.

    Salam hormat dari Sarikei, Sarawak. 😀

    1. Wa’alaikum salam wr.wb, mbak Fatimah…

      Alhamdulillah, kabar baik. Semoga juga dalam keadaan sehat dan berbahagia selalu disana.
      Ah iya Mbak, Kang Bidin ini salah satu teman yang masih tersisa hingga kini. Yang lainnya entah dimana, kebanyakan lost contact. Betul juga ya Mbak, kesibukan merupakan salah satu penyebab jarang kontak dengan teman-teman lama itu.

      Saya juga mengagumi konsep hidup Kang Bidin ini. Agak susah memang mamahami pilihan hidup seseorang, apalagi pilihan Kang Bidin ini terasa aneh untuk yang hidup di zaman modern ini.
      Kampungnya Kang Bidin masih asri. Yang mencolok hanya kondisi air sungai yang sudah tidak bening lagi itu, Mbak.

      Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya, Mbak.

      Salam persahabatan selalu dari saya,

  3. Hebat sekali Kang Bidin memiliki keyakinan yang teguh. Daerahnya sejuk sekali itu yaaa… Aku juga berharap kelak aku masih mampu mengenali teman-teman kecilku dan bisa bertukar cerita bersama mereka. Teman-teman adalah bagian dari proses kehidupan kita, mereka memiliki peran yang berarti dalam kehidupan ini.

    1. Iya Mbak, saya salut juga dengan keyakinan dan pilihan jalan hidup Kang Bidin ini.
      Daerah tempat tinggal Kang Bidin masih sejuk sampai sekarang ini, Mbak. Hanya air sungai yang sudah terpolusi sehingga tidak lagi bisa digunakan oleh warga setempat untuk mandi seperti 20 tahun lalu.

      Terima kasih kunjungan dan komentarny, Mbak.

      Salam,

  4. bunda hanya punya tiga orang saja sahabat lama semasa SMA ,Kang
    itupun baru bertemu lagi tahun 2010 setelah berpisah kurang lebih 33 tahun…
    kami masing2 sudah bermenantu…. 🙂
    dan….alhamdulilaah…sampai kini kami berusaha utk terus tetap keep in touch…

    Melihat rumahnya Kang Bidin…terasa adem, asri dan segar sekali ya Kang
    Pantas saja kalau Kang Bidin tak ingin pergi ke kota ….
    dirumah itu sepertinya kedamaian hati telah dapat dicapai oleh Kang Bidin 🙂

    Salam

    1. Waduh Bunda, itu lama sekali tidak bertemu dengan sahabat lama masa SMA nya ya?
      Tak terbayangkan bagaimana rasanya pertemuan dengan sahabat setelah berpisah selama 33 tahun dan masing-masing sudah bermenantu.

      Betul Bunda, suasana sekitar rumah Kang Bidin masih asri. Suasana pedesaannya masih sangat lekat. Ditambah dengan rumah Kang Bidin yang terbuat dari bambu dan panggung begitu. Suasana yang sepertinya tak bergeming sejak 20 thn lalu. Seperti tak bergemingnya keyakinan Kang Bidin akan pilihan jalan hidupnya ini, Bunda.

      Terima kasih kunjungan dan komentarnya, Bunda.

      Salam,

  5. I think you’re right … I gave myself a long time ago an accurate answer to my question: people come in and out of our lives according to a definite plan. We know people to whom we remain connected for a few weeks maybe sharing a journey to other lands, other romantically attracted for a few years, others until the end of our days…
    When a person comes out of our existence, it means that he/she has given us (as in a reciprocal manner) what we needed to improve our awareness.
    Obviously you have to believe in this kind of spiritual growth, that we can apply to any religious beliefs (Christian, Buddhist, Muslim etc.).
    There are such special people with whom the relationship and bond continues over time, even if you are far away and if you lead totally different lives…
    But over the years, I realized that you can not “bind” a friendship… you can not hold onto something that must take its course!
    You must therefore learn to “let go” to make room for something new, so that our material experience in this life can achieve its purpose.
    Saya berharap Anda akhir pekan yang baik 🙂 claudine

    1. Thanks, Claudine for your great comments.
      I try to understand every words you write. It is not easy for me to understand because my English is not good. So I use google translate to get better understanding with your comments.

      Thanks so much for visiting my blog.

      Have a nice weekend Claudine.

      Best regards,

  6. Kang …
    Saya ingin berkomentar mengenai suasana di tempat kang Biding tinggal … (yang juga mungkin dulu Akang tinggali juga) …
    Suasananya masih hijau … dan saya bisa merasakan sejuknya tempat tersebut

    Salam saya Kang

    (14/3 : 6)

    1. Betul sekali Oom, suasananya masih hijau dan masih tetap sejuk hingga hari ini.
      Hanya sayang, sungai yang mengalir didean rumah Kang Bidin kini sudah tidak jernih lagi. Sangat disayangkan kerusakan lingkungan seperti begini ini Oom.

      Salam kembali dari saya Oom.

  7. Enath kenapa saya merasa sangat kagum dengan Kang Bidin yang digambarkan di sini. Mungkin karena unik dan memang sangat percaya diri untuk meneruskan hidup di kampungnya sendiri ya Pak..

    1. Demikian juga dengan saya, Mbak.
      Saya pikir sekian puluh tahun tak berjumpa, ada perubahan pandangan dan jalan hidup Kang Bidin, ternyata tidak. Ia tetap yakin dengan jalan hidup yang dipilihnya tersebut,

      Salam,

Sila tinggalkan komentar sahabat disini...

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: