Malam ini di hadapanku tergeletak buku lama. Buku lama yang telah berubah warna pada setiap lembar demi lembar halamannya. Buku yang menyeramkan sebenarnya. Setidaknya demikian menurut pandangan aku pribadi.
Buku ini berjudul The Borderless World. Dunia tanpa tapal batas. Di tulis oleh seorang Jepang, Kenichi Ohmae. Terbit tahun 1991.
Pada dasarnya Ohmae mempertanyakan konsep negara, sebagai negara bangsa, apakah masih mampu berperan sebagai aktor utama pertumbuhan ekonomi di “negara” nya? Para birokrat yang duduk di pemerintahan sebagai manifestasi sebuah negara bangsa, apakah masih mampu berperan mendistribusi kemakmuran?
Akibat kemajuan teknologi sekarang, investasi bisa bergerak berpindah kemanapun ia suka. Sekarang ini, dimanapun investasi layak ditanam, uang akan masuk. Dan yang hebat, uang itu adalah uang swasta.
Pada masa lalu, jika sebuah industri berniat berkiprah di satu negara, deal dengan pemerintah setempat menjadi syarat pokok. Industri harus membawa modal dan teknologi sesuai dengan yang dimaui pemerintah. Kini semua berubah. Tak ada lagi deal ketat dengan pemerintah tuan rumah. Mereka masuk dengan kepentingannya sendiri. Mereka masuk dengan hasrat mengembangkan pasarnya sendiri dan mengolah sumber daya tuan rumah dengan kekuatan uangnya.
Demikian hebat kekuatan perusahaan swasta itu akhirnya. Kekuatan mereka yang kian besar itu belakangan banyak menimbulkan “kecurigaan”. Bagaimana kalau kekuatan ini kian hari kian tak terbendung? Bagaimana kalau akhirnya hajat hidup orang banyak dikuasai oleh hanya segelintir fihak saja?
Kekuatiran tersebut diatas menimbulkan “perlawanan” setidaknya dari kelompok-kelompok yang kerap disebut sebagai LSM atau NGO, walau tidak semua LSM/NGO bergerak dalam hal ini tentunya.
Tentu saja perusahaan swasta berupaya memoles atau menata kembali wajahnya. Mereka menampilkan citra menjadi lebih humanis, lebih peduli lingkungan, lebih peduli pada kesinambungan. Citra sebagai “serigala” pengejar keuntungan semata lambat laun semakin sirna.
Beberapa perusahaan swasta memperbaiki citra ini dengan sangat serius. Misal, satu perusahaan rokok mendirikan semacam foundation yang berfokus pada pemberian bea siswa pendidikan bagi golongan yang tidak mampu. Perusahaan swasta lain menyalurkan bantuan dan dana untuk konservasi hutan dan penghijauan. Aku bahkan menemukan plang konservasi di hutan menuju Curug Sawer, Kadudampit, Kab. Sukabumi. Foto dibawah ini adalah plang konservasi tersebut… (mohon maaf, bukan iklan, hanya ilustrasi semata..)
Harapan selalu ada. Seperti juga aku yang berharap, semoga yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta itu tulus demi kesinambungan kehidupan sosial dan bukan hanya upaya sesaat untuk mempercantik wajah… Semoga.
Bekasi, 20 Oktober 2010
[ sent from my mobile phone]
Saya sependapat dg anda dan miris melihat begitu banyak perusahaan asing yg mulai menguasai kekayaan alam kita, sampai hal yg terkecil SPBU misalnya.
Untuk itu pada intinya negara kita memerlukan kepemimpinan pemerintahan yang berani untuk dapat membenahi birokrasi yang ada, sehingga setiap keputusan atau tindakan bukan berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan, begitu pula dalam pengambilan keputusan atau syarat dalam kerjasama dg perusahaan asing/swasta. Semoga suatu saat akan ada kepemimpinan pemerintahan yg sesuai dg harapan….
>>leadership dan tata-aturan yang berwibawa tegas dan berwibawa..
tentunya aturan yg tidak terbelokkan dg setumpuk dollar..
Dan perlu diakui terkadang upaya mereka lebih giat dan serius daripada foundation-foundation yang berdiri di belakang pemerintah.
Walaupun mungkin pada akhirnya kita akan menemukan suatu maksud di balik ini semua, tapi toh tetep bisa menyentuh..
Birokrasi yang njlimet di negara kita membuat kebanyakan orang mengernyitkan dahi dan secara tidak langsung melahirkan tindakan cepat ambil jalan pintas….
>>inilah problemnya, aturan yg njimet itu seperti dirancang untuk penyelewengan di level operasional…maaf..
Wah…aku habis nulis apaan??